Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak hanya menegakkan keadilan berdasarkan hukum normatif saja, namun yang terpenting adalah menegakkan keadilan substantif. Hal ini disampaikan Hakim Konstitusi Maria Farida Indarti ketika menerima kunjungan Kelompok Studi Mahasiswa FISIP Univeritas Nasional Jakarta, Kamis (21/10), di Gedung MK.
Dalam kesempatan itu, Maria menjelaskan latar belakang berdirinya Mahkamah Konstitusi. Pada awalnya, jelas Maria, wacana dibentuknya Mahkamah Konstitusi bermula dari kasus Marbury dan Madison pada tahun 1803. Sedangkan di Indonesia, wacana perlu dibentuknya sebuah lembaga penguji undang-undang ketika Muhammad Yamin mengusulkan perlunya ada Balai Agung untuk membanding undang-undang. Namun wacana ini ditolak oleh Soepomo yang beralasan bahwa Indonesia saat itu adalah negara baru dan baru tumbuh hingga belum membutuhkan lembaga penguji undang-undang.
Kemudian ide MK diadopsi ke dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 seperti yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. “Maka pada 15 Agustus 2003 berdasarkan Keppres Nomor 147/M Tahun 2003, berdirilah MK,” jelas Maria.
Maria juga menjelaskan mengenai kewenangan MK seperti yang tercantum dalam Pasal 24C UUD 1945, yakni memutus pembubaran parpol, mengadili sengketa lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945, menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, dan memutus perkara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Maria menuturkan kewenangan menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum baru saja diterima MK pada 1 November 2008 dari Mahkamah Agung. “Pada 2010 ini, dari 246 Pemilukada yang berlangsung, MK sudah menyidangkan 198 perkara dan memutus 181 perkara,” urainya.
Menurut Maria, dari beberapa kewenangan yang dimiliki MK, hanya kewenangan membubarkan Parpol dan impeachment yang belum pernah disidangkan MK. Maria juga menyinggung mengenai syarat penting menjadi seorang Hakim Konstitusi. Syarat utama, menurut Maria, adalah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Hal ini, lanjut Maria, bisa dinilai oleh masyarakat. Kemudian syarat lain adalah adil yang bisa dilihat dari keputusan Hakim Konstitusi. “Syarat yang berbeda adalah harus seorang negarawan. Ini berarti setiap pertimbangan yang diajukan telah diperiksa secara adil. Syarat ini hanya diperuntukkan bagi Hakim Konstitusi,” tandasnya.(Lulu A./mh)