Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) lahir setelah perubahan UUD 1945, terjadi antara tahun 1999-2002. “Kalau kita kilas balik ke belakang, bahwa amandemen atau perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan reformasi,” ungkap Irfan Nur Rachma selaku Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) kepada segenap pelajar SMA PGRI 3 Bogor yang berkunjung ke MK pada Kamis (21/10).
Akibat desakan para mahasiswa ketika itu, ungkap Irfan, UUD 1945 yang di masa orde baru dianggap sakral menjadi berubah (1999-2002). Sebagian anggota dewan mengatakan, perubahan UUD 1945 terjadi sebanyak empat kali. Sedangkan sebagian lagi mengatakan, perubahan UUD 1945 terjadi satu kali dan terdiri atas 4 tahap.
“Hasil dari perubahan UUD 1945, lahirlah Mahkamah Konstitusi,” imbuh Irfan.
Dikatakan Irfan, perubahan UUD 1945 ternyata membawa dampak luar biasa bagi kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Akibat perubahan UUD 1945, maka lembaga-lembaga negara yang ada di Indonesia semuanya berubah. Dari yang semula lembaga tertinggi di tangan MPR, setelah perubahan UUD 1945 lembaga tertinggi di Indonesia sudah tidak ada.
“MPR, DPR, Presiden, DPD, MA, MK, BPK kedudukannya sejajar, tidak ada yang lebih tinggi. Yang tertinggi adalah konstitusi, karena sistem ketatanegaraan yang baru kita mengenal adanya supremasi konstitusi. Oleh sebab itu kita meletakkan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi di negara Indonesia,” papar Irfan dalam pertemuan yang mengangkat topik “Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945” itu.
Lebih lanjut Irfan menjelaskan, konsekuensi kedudukan sejajar antara MPR, DPR, Presiden, DPD, MA, MK dan BPK, dikenal mekanisme pemisahan kekuasaan. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan, dikenal adanya pembagian kekuasaan (distribution of power). Kemudian pada UUD 1945 setelah amandemen, tidak mengenal lagi pembagian kekuasaan, tetapi mengenal pemisahan kekuasaan (separation of power).
“Kalau dulu, yang memegang kekuasaan membentuk UU adalah Presiden. Sekarang dikembalikan lagi kepada DPR sebagai fungsi legislasi,” ucap Irfan.
Diungkapkan Irfan pula, karena kedudukan antara Presiden dan DPR sederajat, maka sekarang Presiden tidak bisa menjatuhkan DPR. Demikian juga sebaliknya, DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden.
“Berbeda dengan pada masa sebelum amandemen UUD 1945, misalnya tahun 2001 Presiden Gusdur pernah mengeluarkan Maklumat Presiden yang isinya membubarkan DPR,” tandas Irfan kepada para pelajar SMA PGRI 3 Bogor. (Nano Tresna A.)