Jakarta, MKOnline - Meski mengajukan perkara yang sama, yakni perkara perselisihan hasil Pemilukada, dua Pemohon PHPU Kab. Supiori, Papua, divonis berbeda. Dalam putusannya, Rabu (20/10/2010), MK mengabulkan perkara 182/PHPU.D-VIII/2010, akan tetapi menolak perkara 183/PHPU.D-VIII/2010.
Pemohon perkara 182 adalah pasangan Julianus Mnusefer-Theodorus Kawer, cabup-cawabup Supiori nomor urut 5. sementara Pemohon perkara 183 adalah pasangan Hulda Ida Imbiri-Tonny Silas Manufandu, cabup-cawabup nomor urut 6.
Pokok permohonan Pemohon 182 mendalilkan pencalonan Pihak Terkait in casu Drs. Hendrik Jan Rumkabu (cabup nomor urut 2) tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah karena yang bersangkutan tersangkut kasus pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih dan adanya dualisme dukungan Partai Barisan Nasional kepada Pihak Terkait.
Dalil Pemohon terlihat dalam permohonan tersebut yang keberatan terhadap Keputusan KPU Supiori No. 13/2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kab. Supiori 2010 Pada Putaran Kedua tanggal 22 September 2010 yang menetapkan antara lain Pihak Terkait sebagai Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Kab. Supiori 2010 Pada Putaran Kedua.
Terkait kasus Hendrik, MK melihat kasasi yang diajukan Hendrik juga ditolak MA. Karena itu, menurut MK, berdasar putusan tersebut, Hendrik dianggap terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. Dia dianggap bersikap tidak jujur, tidak beritikad baik atau menyembunyikan statusnya sebagai narapidana.
“Konklusi, pokok permohonan beralasan menurut hukum, amar putusan mengabulkan permohonan Pemohon, Pasangan Calon Nomor Urut 5 atas nama Julianus Mnusefer dan Theodorus Kawer sebagai Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhak untuk mengikuti Putaran Kedua dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Supiori Tahun 2010,” tegas Mahfud.
Tidak Terbukti
Sementara itu, Pemohon 183 mendalilkan Termohon beserta jajarannya yang tidak menjalankan fungsi perundang-undangan, sehingga Pemilukada dianggap tidak berlangsung luber dan jurdil. Selain itu, Pemohon juga mendalilkan DPT bermasalah di Distrik Supiori Utara, Distrik Supiori Barat, Distrik Supiori Timur, Distrik Supiori Selatan, dan Distrik Kepulauan Aruri.
Setelah Mahkamah mencermati dalil Pemohon dikaitkan dengan bukti-bukti yang diajukan, sama sekali tidak menemukan bukti yang dapat mendukung dalil permohonannya. Prinsip dasar dari pada hukum acara adalah “siapa yang mendalilkan harus membuktikan – satu alat bukti bukan bukti”. Pasal 45 UU 24/2003 menyatakan “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa oleh karena Pemohon tidak mengajukan bukti untuk mendukung dalilnya tersebut, maka dalil Pemohon demikian harus dikesampingkan.
“Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum,” ujar Mahfud MD. Karena itu, amar putusan MK menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. (Yazid/mh)