Jakarta, MKOnline - Untuk lebih meyakinkan Majelis Hakim dan memperkuat dalilnya, Pemohon perkara nomor 188/PHPU.D-VIII/2010, pasangan calon bupati dan wakil bupati Lampung Tengah Musa Ahmad-Suwidyo, menghadirkan seorang ahli pada persidangan Rabu (20/10) siang, di ruang sidang pleno MK. Ahli tersebut adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra.
Kehadiran Yusril dalam persidangan tersebut untuk menjelaskan Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang 32 Tahun 2004 (UU Pemda) serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 68 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilukada. Khususnya berkaitan dengan keabsahan pencalonan seorang kepala daerah yang dilakukan oleh seorang Pelaksana Tugas (Plt) Ketua dan Plt. Sekretaris Partai Politik.
Dalam hal ini, Pemohon, mempermasalahkan tentang keabsahan pencalonan pasangan pemenang Pemilukada yang dicalonkan oleh DPD Partai Golkar Kab. Lampung Tengah, Pairin-Mustofa (Pihak Terkait) yang hanya ditandatangani oleh Plt. Ketua dan Plt. Sekretaris. Karena, menurut Pemohon, dalam ketentuan hanya ditegaskan Ketua dan Sekretaris Parpol; dan tidak ada menyebut Pelaksana Tugas (Plt) Ketua maupun Sekretaris.
Menurut Yusril, dalam perundang-undangan yang terkait dengan partai politik ataupun Pemilukada, seperti UU 22/2007, UU 32/2004 atau UU 2/2008 tidak mengatur secara tegas tentang Plt. Akan tetapi, lanjutnya, pada praktiknya pengaturan tentang jabatan atau kepengurusan parpol biasanya diatur lebih lanjut oleh Parpol secara internal. “Diserahkan pengaturannya dalam Anggaran Dasar (AD) dan Angggaran Rumah Tangga (ART) partai politik yang bersangkutan,” ungkapnya.
Namun, sambung Yusril, dalam AD maupun ART Partai Golkar tidak dijelaskan tentang bagaimana kedudukan dan akibat hukum atas tindakan yang dilakukan oleh seorang Plt. Malah, menurutnya, yang diatur adalah, tentang pengangkatan pejabat atau pengurus dalam konteks Pergantian Antar Waktu (PAW), bukan sebagai Plt.
Apakah Plt. memiliki kedudukan dan tugas yang sama dengan pejabat, dalam hal ini Ketua dan Sekretaris definitif? Menurut Yusril, pada konteks ini, terjadi ketidakpastian hukum. Di mana, ketentuan perundang-undangan, Peraturan KPU maupun AD/ART Partai Golkar tidak mengaturnya secara tegas dan jelas. Padahal, sambungnya, kejelasan dan ketegasan tentang batas-batas kewenangan serta tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh seorang Plt haruslah jelas diatur. Karena, akan mempengaruhi keabsahan tindakan-tindakan (hukum) yang akan diambil oleh Plt tersebut.
Akhirnya, ia pun berpendapat, untuk menghindari polemik tentang keabsahan tersebut, sebaiknya para pejabat pemerintahan atau negara (dalam hal ini KPU Kab. Lampung Tengah) kedepan, tidak dengan mudah menerima surat yang masih belum jelas keabsahannya. “Hal-hal yang membawa ketidakpastian hukum seyogiayanyalah dihindari, karena setiap hal yang mengandung ketidakpastian hukum akan berpotensi cacat hukum di dalam tindakan itu,” paparnya. Menurutnya, kalaupun telah terjadi, sebaiknya para pihak mengajukannya ke pengadilan hingga ada putusan yang berkekuatan hukum tetap sehingga jelas keabsahannya.
Akhirnya, Yusril pun menyerahkan keputusan akhir kepada Mahkamah untuk menegaskan apakah wewenang Plt serta tindakan-tindakan hukumnya adalah sama dengan pejabat definitif ataukah tidak. Meskipun, Yusril, tidak yakin apakah ini kewenangan Mahkamah ataukah bukan. “Masalahnya apakah soal-soal seperti ini termasuk sengketa Pilkada yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi ataukah tidak,” tanyanya. “Saya tidak mencampuri hal itu.” (Dodi/mh)