Jakarta, MKOnline - Salah satu wewenang dari Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan hasil pemilihan umum, termasuk didalamnya pemilihan umum kepala daerah atau Pemilukada, yang kini sedang digelar MK.
“Digelarnya sidang Pemilukada di MK, biasanya kalau ada salah satu pihak yang dirugikan dan menganggap terjadi kecurangan dalam Pemilukada. Sampai saat ini, perkara Pemilukada yang sudah teregistrasi di MK sebanyak 189, paling banyak sepanjang Juli dan Agustus 2010,” ujar Hakim Maria Farida Indrati kepada para guru Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) SMP Penabur Jakarta yang berkunjung ke MK pada Selasa (19/10) siang.
Maria melanjutkan, terkadang MK membuat putusan untuk memerintahkan KPU untuk menyelenggarakan Pemilukada ulang. Hal itu dilakukan, misalnya karena terjadi kekeliruan dalam penghitungan suara maupun terjadi coblos tembus, ada pihak yang membenarkan dan pihak lain yang tidak membenarkan.
“Beberapa TPS menyatakan sah, sedangkan TPS lainnya menyatakan tidak sah. Maka untuk itu bisa dilakukan penghitungan ulang,” jelas Maria.
Selain mengungkapkan masalah Pemilukada, Maria juga menerangkan panjang lebar mengenai wewenang utama MK yakni menguji UU terhadap UUD. Terkait wewenang ini, Maria menuturkan sejarah terjadinya pengujian undang-undang atau judicial review di dunia, dilatarbelakangi kasus Marbury vs Madison yang mencakup pembatalan ketentuan terkait pengangkatan hakim (judiciary Act. 1789). Kasus itu pun jadi dasar kewenangan judicial review Supreme Court Amerika Serikat.
Selanjutnya muncul gagasan cemerlang dari Hans Kelsen hingga terbentuknya MK Austria pada 1920. Gagasan Kelsen, agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Sedangkan di Indonesia, gagasan munculnya pengujian undang-undang sebenarnya sudah sejak masa perjuangan, dicetuskan Moh. Yamin agar membentuk Balai Agung (semacam Mahkamah Agung) untuk diberi wewenang membandingkan undang-undang. Namun usul Yamin tidak disetujui Soepomo karena UUD 1945 tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu.
Tahun 1970 ada usulan Ikatan Sarjana Hukum agar Mahkamah Agung diberi wewenang menguji undang-undang, namun hal itu pun belum terwujudkan. Selanjutnya melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 pada Pasal 5 Ayat 91) disebutkan “MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 …” Tetapi dasar hukum ini pun belum memunculkan lembaga baru untuk menguji undang-undang.
Barulah setelah terjadi perubahan UUD 1945, tepatnya 13 Agustus 2003 MKRI dibentuk dan memiliki kewenangan seperti telah disebutkan sebelumnya. Selain itu MKRI memiliki kewenangan lainnya, yakni memutus sengketa kewenangan lembaga negara dan memutus pembubaran parpol. Ditambah satu kewajiban MKRI yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD. (Nano Tresna A./mh)