Jakarta, MKOnline - Sidang uji materi terhadap Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (18/10) pagi, di ruang sidang pleno MK. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, ahli dan saksi. Permohonan dengan nomor perkara 53/PUU-VIII/2010 ini diajukan oleh Bupati Lampung Timur, Satono.
Tampak hadir dalam persidangan, kuasa hukum Pemohon Andi M. Asrun dan Merlina serta kuasa hukum Pihak Terkait Bahtiar Sitanggang dkk. Nampak pula dari pihak Pemerintah: Biro Hukum Kementrian Hukum dan HAM serta Biro Hukum Kementrian Dalam Negeri, diantaranya Mualimin Abdi, Suarno, Sudan Arif F serta beberapa staf lainnya. Sedangkan dari DPR RI tidak hadir dalam persidangan kali ini.
Pasal yang diuji tersebut berbunyi, ”Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan Negara.”
Dalam keterangannya, Pemerintah, menyatakan, pengaturan yang termuat dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut adalah dalam rangka pembinaan kepada para penyelenggara pemerintahan yang berada di daerah. “Secara filosofis pasal tersebut mengandung nilai-nilai moral. Yakni, untuk mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sosial,” ungkap Pemerintah.
“Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan akuntabel. Oleh karena itulah diambil kebijakan ini. Yaitu untuk kepentingan yang bersangkutan dan menjaga wibawa institusi,” paparnya melanjutkan.
Selain itu, Pemerintah juga meminta kepada Mahkamah untuk memberikan putusan yang konsisten. Menurut Pemerintah, persoalan dan konstruksi hukum dari Pasal yang diuji oleh Pemohon, pada intinya, memiliki kesamaan dengan uji materi oleh MK pada perkara 152/PUU-VII/2009. “Kami meminta kepada Mahkamah untuk memberikan putusan yang istiqomah dengan putusan hukum yang ada sebelumnya. Dalam putusan itu, MK menolak permohonan Pemohon.”
Melanggar Konstitusi
Pada kesempatan tersebut, Pemohon menghadirkan seorang Ahli, yakni Pakar Hukum Pidana, Syaiful Ahmad Dinar. Menurut Syaiful, pada intinya, pengaturan pada Pasal tersebut telah melanggar asas praduga tidak bersalah, kepastian hukum serta hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi.
Seharusnya, lanjut Syaiful, untuk menjamin kepastian hukum, seseorang hanya dapat diberhentikan dari jabatannya ketika sudah mendapatkan keputusan yang mengikat oleh pengadilan. “Saya melihat, (dalam konteks ini) vonis sudah djatuhkan oleh UU,” ungkapnya. “Padahal, banyak kasus seseorang yang telah berstatus terdakwa, akhirnya tidak terbukti menurut hukum,” lanjutnya.
Selain itu, Syaiful juga mengingatkan, dalam menguji pasal tersebut Mahkamah perlu mempertimbangkan suara konstituen yang telah memberikan suaranya melalui proses Pemilukada. “Ada hak konstitusional masyarakat yang telah memberikan suaranya,” ingatnya.
Senada dengan Pemohon, Pihak Terkait Bupati Bone Bolango Agung haris Najamudin, menghadirkan tiga saksi untuk menerangkan bahwa Pasal tersebut berdampak kepada proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. “Total lamanya proses hukum yang telah dijalani Pemohon Pihak Terkait adalah memakan waktu 21 bulan,” ujar saksi Pata Agung yang juga salah satu kuasa hukum Pihak Terkait. (Dodi/mh)