Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh pasangan calon Celcius Watae-Marsudi. Demikian amar putusan Nomor 180/PHPU.D-VIII/2010 dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh enam hakim konstitusi, Kamis (13/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan pasangan calon bupati nomor urut 2 atas nama Yusuf Wally, S.E., M.M. menderita sakit stroke yang dalam berbagai kesempatan dapat terlihat oleh publik. Tindakan Termohon meloloskan pasangan calon bupati nomor urut 2 merupakan pelanggaran yang menciderai konstitusi sehingga keikutsertaannya sebagai peserta Pemilukada di Kab. Keerom adalah cacat hukum. Oleh karena itu, seluruh hasil perolehan suara yang diraihnya menjadi batal demi hukum.
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menjelaskan terhadap permasalahan hukum di atas, Mahkamah menilai dalil Pemohon tidak terbukti, sebab terkait dengan persyaratan kesehatan dari bakal pasangan calon bupati nomor urut 2 telah melalui rangkaian pemeriksaan medis oleh pihak-pihak yang memang ahli dan berkompeten untuk menangani hal tersebut sebagaimana dapat dibuktikan oleh Termohon melalui Surat Sertifikat Dokter yang dikeluarkan oleh Kesehatan Daerah Militer XVII/Cenderawasih Rumah Sakit Tk. III Marthen Indey dan ditandatangani oleh dr. Budi Santoso selaku Kepala Rumah Sakit Tk. III Marthen Indey. “Mahkamah menilai dalil Pemohon mengenai tidak terpenuhinya syarat kesehatan bagi Pasangan Calon Nomor Urut 2 tidak terbukti dan tidak beralasan hukum sehingga harus dikesampingkan,” jelasnya.
Kemudian, lanjut Maria, Pemohon mendalilkan Termohon mengakui secara terbuka di hadapan masyarakat adat Keerom bahwa Pemilukada Kab. Keerom cacat hukum. Terhadap permasalahan hukum di atas, jelas Maria, setelah memeriksa secara saksama bukti elektronik yang disampaikan oleh Pemohon, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa benar Ketua KPU Kabupaten Keerom membuat pernyataan, ”...bapak-bapak memberikan keyakinan kepada kami bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum di Kabupaten Keerom penuh cacat dalam pelaksanaan demokrasinya”. Namun demikian, pernyataan tersebut tidak dapat dinilai hanya berdasarkan penggalan kalimat semata. Untuk memahami maksud dari pernyataan Ketua KPU Kab. Keerom tersebut maka harus disesuaikan dengan konteks waktu dan tempat ketika pernyataan tersebut disampaikan. Dengan mendengarkan keseluruhan pernyataan Ketua KPU Kab. Keerom yang berdurasi kurang lebih 5 menit dan 15 detik, maka Mahkamah menilai pernyataan tersebut tidak dimaksudkan untuk membuat kesimpulan bahwa pelaksaan Pemilukada di Kab. Keerom telah cacat hukum.
“Mahkamah tidak dapat membayangkan apabila pernyataan ataupun pengakuan yang datang dari masing-masing Ketua KPU secara perseorangan dapat dijadikan landasan yuridis untuk menentukan sah atau tidaknya suatu penyelenggaraan Pemilukada, sebab hal ini justru sangat berpotensi untuk menciderai prinsip-prinsip pemilihan umum yang jujur dan adil,” urainya.
Selain itu, Pemohon mendalilkan calon pemilih di Distrik Towe tidak dibagikan undangan. Warga di Kampung Bias hanya dipanggil melalui Kepala Kampung yang berakibat terjadinya pelanggaran sehingga dari sejumlah orang pemilih dalam DPT, hanya sebanyak 28 orang yang datang mencoblos. Terhadap permasalahan hukum di atas, lanjut Maria, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon mengenai jumlah pemilih yang datang mencoblos hanya 28 orang, tidak didukung alat bukti yang cukup. “Berdasarkan fakta hukum di atas, Mahkamah menilai dalil Pemohon mengenai tidak dibaginya undangan, pemungutan suara tanpa bilik dan kotak suara, adalah tidak beralasan hukum sehingga harus dikesampingkan,” jelasnya.
Pemohon juga mendalilkan telah terjadi pembagian uang dan barang yang dilakukan oleh pasangan calon bupati nomor urut 2. Terhadap dalil Pemohon di atas, Mahkamah menilai tidak cukup bukti yang meyakinkan telah terjadinya tindak pidana Pemilukada berupa money politic yang memiliki sifat terstruktur, sistematis, dan masif. Seandainya pun benar terdapat tindak pidana dalam Pemilukada tersebut, menurut Mahkamah hal tersebut sifatnya parsial, sporadis, dan perseorangan, sehingga tidak menunjukkan adanya keterkaitan antara pelanggaran satu dengan lainnya secara sistematis yang digerakkan melalui struktur yang telah disiapkan secara matang. Pelanggaran yang sifatnya sporadis besar kemungkinan tidak akan membawa akibat yang signifikan terhadap posisi keterpilihan dari para pasangan calon Pemilukada Kab. Keerom 2010.
“Namun demikian, apabila terjadi tindak pidana yang sifatnya perseorangan dalam perkara a quo yang belum tertangani secara optimal menurut ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pemilihan umum, maka terhadap pelanggaran tersebut tetap dapat ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian untuk diperiksa dan diambil langkah hukum sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Berdasarkan keterangan resmi dari Panwaslukada Kabupaten Keerom yang diterima oleh Mahkamah, pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan oleh Pemohon telah dilaporkan ke pihak yang berwajib dan menunggu tindak lanjutnya,” papar Maria.
Dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyimpulkan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam perkara a quo. “Permohonan Pemohon tidak terbukti menurut hukum,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)