Jakarta, MKOnline - Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) di dunia bermula dari gagasan pakar hukum, Hans Kelsen asal Austria. Menurut Hans Kelsen, norma yang rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi dan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan konstitusi sebagai norma yang paling tinggi.
“Peraturan yang ada dibawah undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang (UU). Norma dibawah peraturan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah. Itulah hierarki norma menurut Hans Kelsen,” jelas Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva saat memberikan kuliah singkat kepada para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang, pada Kamis (14/10) di Gedung MK Jakarta.
Oleh sebab itu, lanjut Hamdan, perlu ada suatu institusi yang dapat mengawal agar penyelenggaraan pemerintahan negara bisa dikontrol kebijakannya untuk tidak mengeluarkan peraturan yang bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.
“Institusi tersebut merupakan lembaga peradilan yang mengawal kemurnian norma agar tidak bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Putusan pengadilan tidak boleh bertentangan dengan statuta, dan statuta tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Itulah logika berpikir dari Hans Kelsen, hingga dibentuknya MK pertama di Austria pada 1920,” papar Hamdan.
Hamdan melanjutkan, wewenang utama MK adalah melakukan judicial review atau pengujian UU terhadap UUD. Sebenarnya ide awal pengujian UU ini sudah dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sejak abad ke-17 dalam kasus Marbury vs Madison. Pada kasus tersebut, MA Amerika Serikat membatalkan UU yang dibuat oleh Kongres yang secara tradisional dalam sistem pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat, satu lembaga negara tidak boleh mencampuri urusan lembaga negara yang lain.
“Namun yang dibuat oleh Hakim Marshall pada kasus Marbury vs Madison itu, ia berani memutuskan untuk membatalkan UU yang dibuat oleh Kongres. Ini kasus pertama di dunia, awal munculnya pengujian UU. Ide ini berkembang dan sejak itu diterapkan di Amerika Serikat yang tidak mengenal adanya lembaga Mahkamah Konstitusi. Karena di Amerika Serikat, kewenangan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Mahkamah Agung,” imbuh Hamdan panjang lebar.
Di Indonesia, selain melakukan pengujian UU, MK juga berwenang memutus sengketa antara lembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilihan umum, termasuk didalamnya sengketa pemilihan kepala daerah. Mengenai pemilihan kepala daerah, Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa harus dipilih secara demokratis sehingga menimbulkan perdebatan apakah termasuk rezim hukum pemilu atau bukan.
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kemudian dikategorikan sebagai Pemilu yang juga harus diselenggarakan oleh KPU beserta jajarannya sehingga disebut pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, sekarang disebut dengan istilah Pemilukada.
Selain itu, MK Republik Indonesia juga berkewajiban memutus pendapat DPR terkait dengan usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, apabila melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana berat lainnya, sesuai Pasal 10 Ayat (2) UU MK. (Nano Tresna A./mh)