Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) berperan menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil berdasarkan konstitusi (the guardian of the constitution), melakukan penafsiran terhadap konstitusi (the judicial interpreter of the constitution), serta melaksanakan prinsip check and balances.
“Selain itu MK berperan menjamin perlindungan hak-hak konstitusional,” demikian ungkap Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi kepada para peserta Diklat PIM III BPS (Biro Pusat Statistik) Angkatan XXIV 2010 yang berkunjung ke MK, Rabu (13/10) siang.
Sedangkan kekuasaan MK, lanjut Fadlil, adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat terhadap perkara menguji undang-undang, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu. “Kekuasaan lainnya dari MK adalah memutus pendapat DPR terkait dengan usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatan,” ucap Fadlil lagi.
Fadlil melanjutkan, perubahan UUD 1945 dilakukan dalam 4 tahap yakni tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. MK secara normatif sudah ada sejak 2001. Fadlil mengatakan MK dibentuk oleh Presiden dan DPR sejak 2003 dengan ditetapkannya UU MK.
“Pertanyaan berikutnya muncul, sebelum dibentuk MK, siapa yang mengadili kasus-kasus konstitusional? Apakah soal-soal konstitusional ini tidak diselesaikan? Oleh siapa, dengan cara bagaimana,” ungkap Fadlil di hadapan para hadirin.
Sebelum MK terbentuk pada 2003, ujar Fadli, berbagai persoalan konstitusional diselesaikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), atau kadang-kadang diselesaikan oleh Presiden. Cara penyelesaiannya menggunakan mekanisme politik. Selain itu, penyelesaiannya melalui mekanisme kebijakan administratif oleh lembaga eksekutif.
Tak heran, kata Fadli, kekusaan Presiden saat itu sedemikian luas dan besar, sampai bisa menjadi penafsir konstitusi atau legally interpreter of the constitution. Termasuk mengkategorisasi seseorang atau menuduh seseorang sebagai sosok “inskonstitusional”, juga dilakukan oleh Presiden di masa itu.
Lebih lanjut Fadlil menerangkan, sebelum terjadi amandemen UUD 1945, masalah hukum tidak pernah ditegakkan secara hukum. Kalau terjadi penyimpangan, penyelesaiannya seringkali melalui cara politik. Setelah MK terbentuk, kalau Presiden melanggar UUD 1945 terdapat dua model penyelesaiannya. Pertama, melalui model mekanisme politik di MPR dan DPR. Kedua, melalui model mekanisme hukum di MK.
“Inilah bentuk checks and balances antara lembaga negara,” kata Fadlil. (Nano Tresna A./mh)