Petani Gugat UU Perkebunan ke MK
Rabu, 13 Oktober 2010
| 07:31 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi
Empat petani dan tokoh adat menggugat undang-undang perkebunan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menanggap UU itu tidak berpihak kepada rakyat kecil, melainkan lebih menguntungkan pengusaha.
UU Perkebunan yang diuji ke MK ialah pasal 21 dan pasal 47. Dalam pasal 21 UU 18/2004, disebutkanpelarangan melakukan tindakan yang berakibat kerusakan kebun atau aset lainnya dan pengunaan tanah perkebunan tanpa izin. Sementara pasal 47 mengatur soal sanksi terkait pelanggaran pasal 21.
“Memang konflik perkebunan hampir semua yang terlibat pasti kena dengan pasal-pasal ini,” kata Wahyu Wagiman, kuasa hukum pemohon, usai mengikuti sidang pendahuluan di MK, Jakarta, Selasa, (12/10).
Permohonan gugatan UU Perkebunan itu diajukan oleh empat orang yang berlatar belakang petani dan anggota masyarakat adat. Mereka tengah terlibat konflik perkebunan di Kalimantan Barat, Blitar, dan Sumut.
Japin, salah seorang pemohon yang merupakan anggota masyarakat adat Silat HUlu, Kecamatan Marau Ketapang, Kalimantan Barat, misalnya, dia menuntut pengembalian tanah yang diklaim sebagai tanah adat yang dirampas dan digunakan sebuah perusahaan sebagai lahan perkebunan. ersama Vitalis Andi, pemohon lainnya, Japin telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal 21 Jo pasal 47 UU Perkebunan.
Hal serupa juga terjadi terhadap Sakri Petani asal Gandusari, Blitar, dan Ngatimin petani Sei Rampah Serang Bedagai, Sumut. “Rumusan pasal itu tidak jelas. Sehingga apapun perbuatan yang dilakukan masyarakat pasti masuk dalam perbuatan pidana," imbuh Wahyu.
Hakim Panel MK yang terdiri atas Ahmad Fadhil Sumadi, A Sodiki dan Maria Farida Indrati menilai permohonan para pemohon masih berlandaskan pada kasus-kasus yang kongkrit. “Di-clear-kan dulu apakah ini sengketa milik atau sengketa norma,” pinta hakim Sodiki.
Majelis hakim panel memberi waktu kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonannya sebelum persidangan kembali digelar.
(wdi/jpnn)