Jakarta, MKOnline - “Secara eksplisit, melalui Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945, yang dimaksud dengan pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden”, ungkap Hakim Konstitusi Akil Mochtar kepada para mahasiswa Universitas Bengkulu yang datang ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (11/10) siang.
Oleh karena itu, lanjut Akil, dapat dimengerti apabila UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) melalui Pasal 74 sampai Pasal 79 UU MK hanya mengatur hukum acara perselisihan hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dikatakan Akil lagi, mengenai pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus dipilih secara demokratis sehingga menimbulkan perdebatan apakah termasuk rezim hukum Pemilu atau bukan.
“Namun berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kemudian dikategorikan sebagai pemilu yang juga harus diselenggarakan oleh KPU beserta jajarannya sehingga disebut pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kini sering disebut dengan istilah pemilukada,” ujar Akil.
Akil melanjutkan, semula perselisihan hasil Pemilukada berdasarkan Pasal 106 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA) untuk menyelesaikan. Tetapi dengan lahirnya UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004, maka kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilukada dialihkan ke MK.
“Yang secara efektif telah berlaku sejak 1 November 2008 lewah serah terima resmi dari MA ke MK pada 29 Oktober 2008,” jelas Akil.
Lebih lanjut Akil mengatakan, berdasarkan ketentuan Pasal 74 Ayat (2) UU MK junctis Pasal 258 UU No. 10/2008 dan Pasal 201 UU No. 42/20078 dapat disimpulkan bahwa perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara peserta pemilu (parpol, perseorangan calon anggota DPD, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden) dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Kemudian yang diperselisihkan adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU.
Sedangkan mengenai perselisihan hasil Pemilukada, merujuk Pasal 106 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12/2008 dan UU No. 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, dapat disimpulkan bahwa perselisihan hasil pemilukada adalah perselisihan antara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai peserta pemilukada dan KPU Provinsi dan atau KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara Pemilu. (Nano Tresna A./mh)