Jakarta, MKOnline - Sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Waropen masih terus berlanjut. Sidang dengan agenda Pembuktian tersebut digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/10) pagi di ruang sidang panel MK. Panel Hakim terdiri dari Hakim Konsttusi M. Arsyad Sanusi (Ketua Panel), Muhammad Alim dan Maria Farida Indrati.
Dalam kesempatan itu, Pemohon dengan nomor perkara 179/PHPU.D-VIII/2010 (Pemohon I) menghadirkan 10 saksi, Pemohon nomor perkara 181/PHPU.D-VIII/2010 (Pemohon II) menghadirkan 2 saksi sedangkan Pihak Terkait 1 saksi. Adapun Termohon, dengan Ketua KPU Melina KK Wanatore (Termohon I) menghadirkan 4 saksi sedangkan KPU dengan Ketua Kristison Mbaubaderi (Termohon II) menghadirkan 5 saksi.
Dalam kesaksiannya, beberapa saksi Pemohon I mengungkapkan, telah terjadi pemilihan kepala daerah dengan menggunakan proses pemilihan secara adat, yakni melalui (sistem) noken. Menurut salah satu saksi, Kepala Distrik Walani Thomas Tobai, mengatakan, di distrik Kirihi dan Walani telah menggunakan sistem noken dalam Pemilukada Kabupaten Waropen yang lalu. “Semua telah disepakati oleh kepala adat dan seluruh masyarakat. Semua dengan damai,” katanya. Namun dalam pleno di KPU Kabupaten, sistem noken dianggap tidak sah.
Pada saat itu, lanjutnya, telah disepakati (dengan sistem noken) untuk memberikan suara kepada pasangan calon nomor urut satu, Nehemia Rumayomi-Oktofianus Edwar Tebai (Pemohon I). Kesaksian ini pun, dibenarkan oleh Ketua Panitia Pemilihan Distrik (PPD) Juliandrung dan Kepala Suku Walani Yulius Malani.
Sekedar informasi, noken biasa dikenal sebagai tas atau kantong terbuat dari kulit kayu yang biasa ditemui di daerah Papua. Namun, dalam konteks ini, noken digunakan sebagai istilah untuk mengumpulkan surat suara (atau bisa juga daun) sebagai simbol dukungan terhadap seorang kepala adat atau kepala daerah. Dengan sebelumnya, dilakukan proses musyawarah antara tokoh-tokoh adat dan masyarakat di daerah tertentu untuk mendukung salah satu pasangan calon.
Saksi lainnya, Yul Ematapa, mengungkapkan bahwa sistem noken dilakukan karena sebagian besar masyarakat, khususnya di Walani, masih belum bisa baca tulis. “Bahkan berbahasa Indonesia saja belum bisa,” katanya. Selain itu, menurutnya, hal ini tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Buktinya, pada saat pemilu DPR, DPD, DPRD dan Presiden yang lalu, mereka juga menggunakan pemilihan dengan sistem noken tersebut. “Noken itu adat istiadat kami,” imbuhnya.
Terhadap kesaksian tersebut, Termohon Prinsipal I Melina KK Wanatore, menjelaskan alasan kenapa pihaknya menolak sejumlah suara yang dihasilkan dari sistem noken. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan sistem noken telah bertentangan atau melanggar prinsip dalam penyelenggaraan pemilihan umum, yakni asas langsung, umum, bebas dan rahasia. “Hal itu (sistem noken-red) tidak sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang ada,” paparnya.
Saksi dari Pemohon II, Mathias, juga membenarkan hal itu. Menurutnya, dalam proses rekapitulasi, suara dari tiga Tempat Pemungutan Suara (TPS), yakni TPS Mayapo 1, TPS Mayapo 2, dan TPS Maelawaya, dianggap tidak sah karena tidak sesuai peraturan perundang-undangan. “Karena menggunakan noken,” katanya.
Adapun saksi dari Termohon II lebih banyak mengungkapkan beberapa pelanggaran dan kekurangan dalam penyelenggaraan pemilukada di Waropen yang lalu. Salah satu saksi, Jondori yang juga salah satu Ketua PPD, mengungkapkan dirinya selama menjadi panitia pemilukada tidak pernah mendapatkan bimbingan teknis dari KPU Kabupaten Waropen. “Kotak dan logistik juga tidak pernah melalui PPD, langsung ke PPS,” ucapnya. Bahkan, saksi Aquila Sueni yang juga panitia, menyatakan tidak pernah dilantik dan belum diberikan Surat Keputusan (SK) pengangkatan. (Dodi/mh)