Jakarta, MKOnline - Beberapa pelanggaran yang terjadi dalam Pemilukada Kab. Raja Ampat, Papua Barat, dinilai MK hanya bersifat sporadis; bukan pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif. Karena itu, dalam sidang putusan yang dibacakan Rabu (6/10/2010), MK menolak permohonan PHPU Kepala Daerah Raja Ampat.
Perkara 168/PHPU.D-VIII/2010 ini dimohonkan Abdul Faris Umlati-Oktovianus Mambraku. Keduanya adalah pasangan cabup-cawabup yang menilai suara yang diperoleh Pihak Terkait, yakni Marcus Wanma-Inda Arfan, tidak sah. Pemohon juga menganggap KPU Raja Ampat sebagai Termohon, banyak merugikan dirinya.
Pemohon mendalilkan saksi-saksi Pemohon di TPS hampir seluruhnya tidak mendapatkan formulir model C, C1, lampiran C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, dan C10 sehingga berpotensi terjadi penggelembungan suara di tingkat KPPS. Namun, MK menilai dalil itu hanya asumsi karena tidak ada pembuktian lebih lanjut.
Dalil lainnya tentang Pihak Terkait yang belum menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ), akan tetapi telah ditetapkan sebagai peserta Pemilukada, dibantah Termohon. Peraturan KPU No. 68/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilukada sebagaimana telah diubah dengan Peraturan KPU No. 13/2010, menjadi dasar Termohon. Menurutnya, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur persyaratan mengenai seorang incumbent yang harus melaporkan pertanggungjawaban sebelum mendaftarkan diri sebagai bakal pasangan calon. MK pun menilai bantahan ini beralasan hukum.
Dalil tentang pengangkatan pegawai tidak tetap honorer sejumlah 90 orang dalam rangka mendukung Pihak Terkait dan mutasi PNS karena tidak mendukung Pihak Terkait, juga dibantah Pihak Terkait. Diterangkan, pengangkatan tenaga honorer merupakan amanat UU yang diberikan kepada Kepala Daerah sesuai kebutuhan daerah. Menurut Pihak Terkait, Pemohon tidak dapat memastikan secara hukum 90 orang PNS tersebut masuk dalam DPT dan memilih Pihak Terkait. MK menilai bantahan Pihak Terkait beralasan dan dalil Pemohon tersebut tidak terbukti.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa di TPS 9 Kampung Waisai Distrik Waigeo Selatan semua petugas KPPS adalah PNS, Termohon menyatakan hal tersebut tidak benar. Memang sebagian anggota KPPS di TPS 9 adalah Pegawai Negeri Sipil karena TPS 9 secara kebetulan berada dalam Kompleks Perumahan 200 yang merupakan perumahan Dinas Pemkab Raja Ampat, sehingga wajar apabila penghuninya adalah para PNS. MK menilai Pemohon tidak cukup memberikan bukti yang dapat meyakinkan.
Bukti-bukti lain dan keterangan saksi-saksi yang menjelaskan kemungkinan terjadinya pelanggaran yang bersifat administratif dan pidana, dinilai MK hanya dugaan yang sifatnya sporadis. “Konklusi, Mahkamah berkesimpulan dalil Pemohon tidak terbukti menurut hukum, amar putusan menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Mahfud MD. (Yazid/mh)