Jakarta, MKOnline - “Satu hal penting, implikasi perubahan UUD 1945 adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK), disamping Mahkamah Agung (MA) yang sudah ada lebih dahulu. Dengan dibentuknya MK, pertanyaan paling sederhana muncul, apa bedanya MK dengan MA?” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat memberi kuliah singkat kepada para guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Semarang, Senin (4/10) di ruang konferensi pers MK.
Ahmad Fadlil menjelaskan, perbedaan antara MK dan MA adalah dari hukum yang digunakan untuk mengadili. MK mengadili berdasarkan konstitusi. Kasus-kasus yang diadili di MK adalah kasus-kasus konstitusional atau disebut legal constitutional case.
Sedangkan MA, hukum yang digunakan untuk mengadili adalah hukum yang berada dibawah konstitusi. Kasus-kasus di MA disebut legal case atau kasus hukum.
“Meskipun bisa saja dalam keadaan tertentu, MA bisa menemukan hukum dari masyarakat atau dari konstitusi. Tapi tidak dalam keadaan mengadili berdasarkan konstitusi,” imbuh Fadlil Sumadi.
Fadlil melanjutkan, perubahan UUD 1945 dilakukan dalam 4 tahap yakni tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. MK secara normatif sudah ada sejak 2001. Namun, lanjut Fadlil, MK dibentuk oleh Presiden sejak 2003.
“Pertanyaan berikutnya muncul, sebelum dibentuk MK, siapa yang mengadili kasus-kasus konstitusional? Apakah soal-soal konstitusional ini tidak diselesaikan? Oleh siapa, dengan cara bagaimana,” ungkap Fadlil di hadapan para hadirin.
Sebelum MK terbentuk pada 2003, ujar Fadlil, berbagai persoalan konstitusional diselesaikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), atau kadang-kadang diselesaikan oleh Presiden. Cara penyelesaiannya menggunakan mekanisme politik. Selain itu, penyelesaiannya melalui mekanisme kebijakan administratif oleh lembaga eksekutif.
Tak heran, kata Fadli, kekusaan Presiden saat itu sedemikian luas dan besar, sampai bisa menjadi penafsir konstitusi atau legally interpreter of the constitution. Termasuk mengkategorisasi seseorang atau menuduh seseorang sebagai sosok “inskonstitusional”, juga dilakukan oleh Presiden di masa itu.
“Jadi, penyelesaian kasus-kasus konstitusional saat itu justeru ditangani oleh siapa yang paling kuat,” tegas Fadli.
Berbeda dengan sekarang, sambung Fadli, penyelesaian kasus-kasus konstitusional dilakukan oleh MK. Seperti diketahui, sesuai Pasal 10 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa MK memiliki empat kewenangan (menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu) dan satu kewajiban (memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana berat lainnya). (Nano Tresna A./Yoga)