Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian terhadap Undang-undang Nomor No. 13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji, Kamis (22/9), di Gedung MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 51/PUU-VIII/2010 dimohonkan oleh M. Farhat Abbas dan Windu Wijaya.
Dalam sidang perbaikan permohonan, M.Yasser Arafat mengemukakan beberapa perbaikan yang dilakukan oleh Pemohon. Menurut Yasser, Pemohon telah mengkaji mengenai ketentuan yang mampu dalam proses Haji, ketentuan mampu dalam, pengertian ketentuan yang mampu dalam rukun Islam yang kelima, terutama berkaitan dengan Haji.
“Kita coba menguraikan bahwa ketentuan mampu dalam undang-undang Haji seharusnya tidak melihat dari sisi finansial. Ketentuan mampu harus didasarkan pada ketentuan kesehatan jasmani dan rohani. Terus berkaitan dengan jumlah, berkaitan dengan kuota, yang kami maksud dalam permohonan ini adalah pembagian kuota pada tingkat provinsi yang tidak merata. Mengenai Perpu, kami sudah memperbaiki dan tidak diajukan untuk diserta atau disertakan dalam permohonan uji materiil ini,” jelasnya.
Menanggapi perbaikan permohonan, Majelis Hakim Panel yang terdiri dari Hamdan Zoelva sebagai Ketua Panel serta M. Arsyad Sanusi dan M. Akil Mochtar sebagai Anggota Panel, memberikan beberapa masukan. Menurut Arsyad, Pemohon tidak banyak memperbaiki permohonannya. “Bahkan lebih rancu lagi Saudara menambah lagi batu uji, misalnya Pasal 33 ayat (2). Kemudian, mempertentangkan pasal-pasal lain. Pemohon harus merenungkan, masalah kuota, masalah biaya, masalah ini, apakah bukan itu merupakan aplikasi dan penerapan, bukan masalah konstitusionalitasnya, coba direnungkan itu ya?” ujarnya.
Menjawab pertanyaan Majelis Hakim, Yasser menjelaskan alasan pencantuman Pasal 33 dengan pertimbangan bahwa Pasal 33 mengatur pelaksanaan tugas nasional untuk mewujudkan tujuan nasional. “Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 lebih diarahkan pada kaidah dan norma berkaitan dengan cabang hidup orang banyak. Karena tugas nasional dengan tujuan nasional itu sebenarnya adalah suatu hal yang sama, yang hendak ditujukan dan diwujudkan oleh negara,” urainya.
Sementara, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar meminta agar Pemohon I (M. Farhat Abbas) menegaskan legal standing-nya karena sesungguhnya Pemohon I sudah melaksanakan ibadah haji. “Padahal naik haji itu kan cuma sekali saja, tidak perlu berkali-kali ya kan? Kalau Saudara mengargumentasikan bahwa akibat monopoli lalu menimbulkan biaya tinggi bagi penyelenggaraan haji, apakah penyelenggaraan haji oleh swasta itu juga lebih murah dibandingkan penyelenggaraan haji oleh pemerintah? Faktanya begitu, faktualnya, kerugian faktualnya harus bisa diprediksi, apa justru lebih mahal, misalnya ketika ini diberikan kepada pasar bebas, apakah itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut di dalam Undang-Undang Dasar? Ini artinya yang ingin saya katakan adalah legal standing, kerugian kontitusional dari Pemohon itu harus jelas, baik yang potensial maupun yang factual,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)