Jakarta, MKOnline - Konsisten terhadap putusan-putusan sebelumnya, MK menolak pengujian UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Putusan perkara nomor 29/PUU-VIII/2010 tersebut dibacakan Kamis (23/9/2010) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Pemohon prinsipal adalah Dadang S. Muchtar yang juga Bupati Kabupaten Karawang. Ia menyoal salah satu pasal, yakni Pasal 58 huruf o yang berbunyi: “Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Dalil utamanya adalah apakah frasa “belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”, berlaku juga pada Pemohon yang notabene pernah menjabat sebagai Kepala Daerah pada periode tahun 1995 s.d tahun 1999 dan pada periode tahun 2005 s.d tahun 2010.
Menurut Pemohon Pasal 58 huruf o UU 32/2004 bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945. Kriteria untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah yang ditetapkan dalam Pasal 58 huruf o tersebut, menurut Pemohon tidak jelas batasannya, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
MK sendiri mengingatkan kembali dalam putusan ini bahwa Mahkamah pernah memutus Pengujian Pasal 58 huruf o UU 32/2004 terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yaitu putusan MK nomor 8/PUU-VI/2008 bertanggal 6 Mei 2008 dan telah memberikan batasan jabatan kepala daerah. Pembatasan dimaksud adalah a) pembatasan dua kali berturut-turut dalam jabatan yang sama; atau b) pembatasan dua kali jabatan yang sama tidak berturut-turut; atau c) pembatasan dua kali dalam jabatan yang sama di tempat yang berbeda.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat kutipan bunyi Pasal 7 UUD 1945 yang
diperuntukkan bagi pembatasan masa jabatan Presiden dan wakil Presiden yang digunakan untuk membenarkan dalil Pemohon bagi pembatasan kekuasaan Gubernur, Bupati dan Walikota, tidaklah tepat. Sebab, Pasal 7 UUD 1945 berada pada Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, yaitu Pemerintah Pusat, sedangkan Gubernur, Bupati dan Walikota diatur dalam Bab IV tentang Pemerintah Daerah, dua domain pengaturan yang berbeda baik undang-undangnya maupun peraturan pelaksanaannya (vide Pasal 18 UUD 1945).
Menurut Mahkamah, setiap ketentuan dari UUD 1945 adalah bersifat otonom dalam arti mengikat sesuai dengan isi masing-masing bagian dari UUD 1945 itu sendiri tanpa harus disamakan substansinya.
Mahkamah menyatakan pendapatnya dalam dua hal. Pertama, pengujian Pasal 58 huruf o UU 32 /2004 terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, mutatis mutandis alasan hukum dalam kedua putusan Mahkamah tersebut berlaku dalam putusan ini sepanjang berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) dan dianggap ne bis in idem, maka yang akan dipertimbangkan adalah pengujian Pasal 58 huruf o UU 32/2004 terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang dinyatakan ne bis in idem. Kedua, pengujian Pasal 58 huruf o UU 32 /2004 terhadap Pasal 7 UUD 1945 dinyatakan ditolak.
“Konklusi, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum. Amar putusan menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Mahfud MD. Dalam putusan setebal 67 halaman ini, Hakim Harjono mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). “Dalam kasus a quo, Pemohon mempunyai hak untuk mencalonkan diri dan masyarakat mempunyai hak untuk mengajukan calon, in casu, calonnya adalah Pemohon, sebagaimana dijamin oleh Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 baru menikmati haknya satu kali dan oleh karenanya sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri yaitu adanya persamaan kesempatan maka seharusnya Pemohon yang mempunyai hak untuk mencalonkan diri dan masyarakat yang mempunyai hak untuk mengajukan calon masih diberi kesempatan sekali lagi untuk menggunakan haknya,” ujar Harjono. (Yazid/mh)