Jakarta, MKOnline - Permohonan pengujian masa jabatan Jaksa Agung dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (22/9) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam amar putusannya MK menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan pemberhentian dengan hormat karena kondisi atau syarat “berakhir masa jabatannya” menimbulkan masalah dalam pemaknaan dan penerapannya. “Oleh karena itu, pelaksanaan dari Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 perlu disertai dengan rumusan yang jelas tentang jangka waktu atau lingkup waktu yang tegas untuk menghindari penafsiran yang berbeda.” terang Hakim Konstitusi Maria Farida.
MK juga berpendapat praktik ketatanegaraan selama ini, “penetapan masa jabatan” secara tegas digunakan beberapa jabatan publik. Maria Farida menyatakan, “Keterangan Denny Indrayana, S.H., LL.M. Ph.D, dan Letjen (Purn.) Achmad Roestandi, S.H., Ahli dari Pemerintah, yang menyatakan jabatan Jaksa Agung dapat saja berlangsung seumur hidup, menurut Mahkamah, pandangan tersebut tidak tepat, karena menurut prinsip demokrasi dan konstitusi untuk setiap jabatan publik harus ada batasan tentang lingkup kewenangan dan batas waktunya yang jelas dan pasti, apalagi jabatan dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan seperti jabatan Jaksa Agung.”
Selanjutnya Mahkamah sependapat dengan Ahli Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L. yang menyatakan seharusnya masa jabatan Jaksa Agung sesuai masa jabatan Presiden terlepas diposisikan sebagai pejabat di dalam kabinet atau di luar kabinet. Mahkamah juga membenarkan Ahli Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. bahwa Jaksa Agung merupakan pemegang jabatan publik yang mempunyai batasan dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Pendapat Ahli Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M., juga setujui Mahkamah, lanjut Maria, bahwa Jaksa Agung sebagai Pejabat Negara seharusnya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden berdasarkan kondisi yang pasti.
Akan tetapi dalam pertimbangan selanjutnya meski Mahkamah sepakat pendapat para ahli mengenai substansi dan ketentuan yang ada belum mengaturnya, pengangkatan Jaksa Agung sekarang tidak dapat dikatan illegal. “Alasannya, pada saat menetapkan jabatan Jaksa Agung yang sekarang memang tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang yang mengharuskan Presiden memilih alternatif tersebut, sehingga tidak ada masalah keabsahan, baik konstitusionalitas maupun legalitas” kata Hakim Konstitusi Maria Farida.
Mahkamah menerima pandangan Ahli dari Pemerintah Prof. Dr. Philipus M. Hadjon tentang asas praesumptio iustae causa bahwa selama belum ada Keputusan Presiden tentang pemberhentian maka jabatan Jaksa Agung tetap melekat yang bersangkutan. “Karena isi Undang-Undang itu sendiri bersifat terbuka dan tidak jelas, maka penerusan jabatan Jaksa Agung oleh Presiden dalam perkara a quo tidak dapat diartikan inkonstitusional dan jabatan Jaksa Agung sekarang tidak dapat dikatakan illegal (melainkan legal) karena tidak ada Undang-Undang yang dilanggar. Pandangan ketiga Ahli yang diajukan oleh Pemohon hanya dapat mengikat setelah pengucapan putusan Mahkamah ini dan/atau setelah ada Undang-Undang baru yang mengaturnya secara lebih tegas tentang keharusan atau larangan yang seperti itu”
Mahkamah kemudian berkesimpulan permohonan yang dikabulkan berlaku ke depan (prospective). “Dalil-dalil permohonan Pemohon sejauh menyangkut permohonan tentang konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) cukup beralasan dengan persyaratan yang ditentukan oleh Mahkamah dan berlaku secara prospektif sejak diucapkannya putusan ini.” Kata Mahfud MD dalam kesimpulan putusan setebal 143 halaman ini.
Perkara dengan Pemohon Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, registrasi perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010 dalam akhir pembacaan amar putusan, sebanyak dua orang hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda, yakni Hakim Konstitusi Achmad Sodiki dan Hakim Konstitusi Harjono. (Miftakhul Huda)