Jakarta, MKOnline - Tidak ditemukannya bukti hukum yang meyakinkan, membuat MK memutuskan menolak PHPU Kabupaten Asmat, Papua, Senin (20/9/2010). Pemohon sengketa ini adalah Thomas Eppe Safanpo-Sefnath Meokbun, pasangan cabup-cawabup Kab. Asmat nomor urut satu. Keduanya didampingi M. Guntur Ohoiwutun dan John Richard sebagai kuasa hukumnya.
Perkara No.156/PHPU.D-VIII/2010 ini juga menghadirkan Pihak Terkait, yakni pasangan Yuvensius Alfonsius Biakai-Motong Saridjan sebagai pemenang pemilukada yang ditetapkan KPU.
Pelaksanaan pemilukada Asmat telah dilaksanakan pada Senin, 9 Agustus 2010 yang diikuti oleh tiga pasangan. Sementara itu, hasil perolehan suara pemilukada ini didasarkan pada Keputusan KPU Kab. Asmat No.033/Kpts/KPU-Kab.031.434260/2010 tentang Penetapan Hasil Penghitungan Suara dan Calon Terpilih Pemilukada Asmat 2010, bertanggal 21 Agustus 2010.
Beberapa hal yang diperselisihkan Pemohon adalah adanya perbedaan penggunaan surat suara tambahan sejumlah 2%, tidak diberikannya Berita Acara oleh KPPS kepada para saksi Pemohon, adanya praktik politik uang dan intimidasi dalam proses penyelenggaraannya, adanya keberpihakan Pemda kepada salah satu pasangan, adanya keterlibatan beberapa anak sebagai pemilih, hingga permasalahan di dalam pengisian formulir dan penandatanganan Berita Acara di tingkat TPS dan PPD.
Hal lain adalah menyoal pelaksanaan penghitungan ulang yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, terdapat TPS yang melakukan rekapitulasi penghitungan suara sebelum pukul 13.00 waktu setempat, tidak adanya pengucapan sumpah atau janji bagi Petugas KPPS sebelum pemungutan suara dilakukan, adanya pembukaan kotak suara sebelum hari pemungutan suara, adanya petugas KPPS yang buta huruf, adanya intervensi dari pihak kepolisian, dan terjadi kesalahan dan ketidaktepatan dalam rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Beberapa dalil tersebut dibantah KPU. MK juga melihat bukti yang dihadirkan Pemohon kurang meyakinkan. Misalnya, Pemohon tidak menguraikan secara rinci jumlah perbedaan surat suara di 172 TPS, tidak mampu menjelaskan akibat tidak diperolehnya Berita Acara, dampak adanya money politic, dan intimidasi.
Keberpihakan Pemda kepada salah satu calon juga tidak didukung bukti kuat. Keterlibatan beberapa anak sebagai pemilih, menurut MK dalam pertimbangan hukumnya, tidak memiliki pengaruh signifikan bagi keterpilihan para pasangan calon, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Mengenai petugas KPPS yang buta huruf, juga masih bisa ditolerir. “Keterbatasan dari sisi kuantitas juga tidak banyak membantu proses pelaksanaan Pemilukada di Kab. Asmat. Sepanjang hasil rekapitulasi perolehan suara memiliki ruang supervisi ataupun verifikasi di tingkat PPD, Mahkamah menilai bahwa seandainya pun benar terdapat Ketua atau Anggota KPPS dalam Pemilukada di Kabupaten Asmat yang buta huruf yang oleh Pemohon diukur melalui ketiadaan tanda tangan yang digantikan dengan cap jari dalam Formulir dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara maka hal tersebut masih dapat ditolerir dan secara relatif tidak sampai merusak sendi-sendi pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” terang Majelis Hakim dalam putusan setebal 236 halaman ini. (Yazid/mh)