Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak seluruhnya Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Sumenep. Demikian putusan Nomor 154/PHPU.D-VIII/2010 dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan Hakim Konstitusi, Kamis (16/9), di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, Mahkamah menilai eksepsi KPU Kabupaten Sumenep sebagai Termohon eksepsi Pihak Terkait yang pada pokoknya menyatakan permohonan Pemohon kabur (obscuur libel), Mahkamah berpendapat, hal demikian terlalu prematur karena sudah memasuki dan terkait dengan pokok permohonan. “Oleh karena itu, Mahkamah mempertimbangkan dan memutus bersama-sama dengan pokok permohonan,” ujarnya.
Terhadap dalil Pemohon mengenai Saksi Pemohon yang tidak menandatangani Formulir DB-KWK, DB1-KWK, DA-KWK dan DA1-KWK karena telah mengajukan keberatan dalam tahapan rekapitulasi, telah dibantah oleh Termohon dengan Bukti berupa Formulir C-KWK, Formulir C1-KWK, dan Formulir DA B-KWK, keterangan PPK Guluk-Guluk, Muhri yang menyatakan para saksi Pasangan Calon yang hadir menandatangani berita acara. “Dari bukti-bukti dan keterangan PPK Guluk-Guluk yang diajukan, bahwa Formulir C-KWK, Formulir C1-KWK dan Formulir DA B-KWK telah ditandatangani saksi-saksi Pasangan Calon dan tidak ada keberatan, lagi pula dalil permohonan a quo tidak jelas menyebutkan di TPS berapa di Kecamatan Guluk-Guluk yang jumlah pemilihnya menggunakan hak pilihnya melebihi DPT, sehingga Mahkamah berpendapat dalil Permohonan Pemohon tidak terbukti menurut hukum,” jelasya.
Sementara, dalil Pemohon yang menyatakan di Kecamatan Guluk-Guluk 100% pemilih menggunakan hak pilihnya, padahal 25% pemilih bekerja menjadi TKI. Akan tetapi, lanjut Fadlil, tidak ada satu pun alat bukti yang dapat menguatkan dalil Pemohon a quo bahwa di Kecamatan Guluk-Guluk 100% pemilih menggunakan hak pilihnya padahal 25% pemilih bekerja menjadi TKI, sehingga dalil Pemohon tidak terbukti menurut hukum. Dalil.
Sedangkan, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan terjadi intimidasi yang dilakukan oleh Birokrat di 10 kecamatan. Pemohon membuktikan dalil tersebut dengan bukti berupa surat pernyataan yang dibuat dan ditandatangani oleh Khasim tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu. “Mahkamah berpendapat, bukti tersebut nilai pembuktiannya tidak sempurna, karena surat pernyataan tersebut hanyalah surat biasa dan dikuatkan lagi dengan keterangan saksi Ustad Suwarmo yang hanya menerangkan adanya instruksi untuk mendukung Pasangan Calon Nomor Urut 2, bukan intimidasi di 10 kecamatan sebagaimana didalilkan Pemohon, sehingga bukti Pemohon a quo harus dikesampingkan,” urai Fadlil.
Kemudian, dalil Pemohon yang menyatakan Termohon tidak profesional dalam proses pemutakhiran data. Fadlil menjelaskan Mahkamah menilai bahwa Pemohon tidak dengan rinci menguraikan tentang cacat pada DPT, dimana, berapa jumlahnya, siapa saja yang Pemohon maksud yang secara nyata dengan adanya cacat tersebut telah mengurangi suara Pemohon. “Jika memang ada pemilih yang seharusnya dapat memilih tetapi tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap, ia dapat saja menggunakan tanda pengenal KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk datang ke TPS untuk memberikan suaranya sesuai dengan jurisprudensi Mahkamah. Dengan demikian maka dalil Pemohon tidak terbukti menurut hukum,” urainya.
Selain itu, lanjut Fadlil, dalil-dalil tersebut, menurut Pemohon merupakan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif yang terjadi di beberapa kecamatan. Mahkamah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif adalah pelanggaran yang melibatkan sedemikian banyak orang, direncanakan secara matang, dan melibatkan pejabat atau penyelenggara Pemilu secara berjenjang. “Bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan, memang telah dapat membuktikan benar terjadi pelanggaran, namun tidak satupun alat bukti dapat meyakinkan Mahkamah bahwa pelanggaran terjadi adalah pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif, untuk memenangkan salah satu pihak, karena itu dalil Pemohon tentang terjadinya pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif tersebut tidak terbukti menurut hukum,” paparnya.
Dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyimpulkan bahwa eksepsi Pihak Terkait tidak tepat dan tidak beralasan menurut hukum. “Pokok permohonan tidak beralasan hukum,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)