Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan Perselisihan Hasil Pemilukada Kota Tidore Kepulauan. Demikian amar putusan Nomor 139 – 140/PHPU.D-VIII/2010 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi, Senin (30/8), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini dimohonkan oleh Salahuddin Adrias-Abbas M. Arsyad dan Muhammad Hasan-Ruslan Hafel.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim, Pemohon mendalilkan bahwa Pasangan Calon Nomor Urut 3, Ahmad Mahifa-Hamid Muhammad menggunakan fasilitas negara untuk memperkenalkan calon wakil walikota dalam kunjungan ke daerah. Berdasarkan keterangan Saksi Nurdani Konoras dan Sumiyati Husen serta bukti-bukti berupa rekaman video mengenai kunjungan kerja/perjalanan dinas Walikota incumbent serta dokumen terkait, lanjut Alim, terbukti bahwa beberapa kunjungan kerja yang dilakukan Walikota (calon incumbent Pasangan Calon Nomor Urut 3) Tidore Kepulauan telah disertai oleh calon Wakil Walikota dari Pasangan Calon Nomor Urut 3. “Penggunaan fasilitas negara untuk kegiatan sosialisasi pasangan calon kepala daerah merupakan hal yang dapat mencederai prinsip-prinsip demokrasi dan prinsip kepemerintahan yang baik. Meskipun demikian, tanpa mengurangi arti pelanggaran yang telah dilakukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3, Mahkamah menilai Pemohon I tidak dapat menjelaskan dan membuktikan adanya pengaruh secara signifikan yang diakibatkan oleh pelanggaran-pelanggaran tersebut terhadap peringkat perolehan suara masing-masing peserta Pemilukada Kota Tidore Selatan Tahun 2010,” jelas Alim.
Sedangkan, mengenai dalil dugaan keterlibatan PNS dan/atau penggalangan dana, Alim menjelaskan berdasarkan keterangan Saksi Arsyad Wahid, Mahkamah menilai memang terbukti terjadi penggalangan dana sebagaimana didalilkan Pemohon I. Akan tetapi, lanjut Alim, Pemohon tidak dapat menunjukkan signifikansi keterlibatan PNS dan/atau penggalangan dana tersebut dengan peringkat perolehan suara masing-masing pasangan calon. “Lagipula penggalangan dana pembuatan baliho yang bertujuan mendukung salah satu pasangan calon peserta pemilukada tidak dapat dikualifisir sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan selama dilakukan denga sukarela, apalagi jika tidak dapat dibuktikan bahwa perintah penggalangan dana tersebut bermuara pada Walikota incumbent;” ujar Alim.
Alim juga menuturkan bahwa terhadap keterlibatan pejabat Pemerintah Kota Tidore Kepulauan yang telah dibuktikan oleh Pemohon I maupun Pemohon II, Mahkamah menilai keterlibatan pejabat struktural Pemerintah Kota Tidore Kepulauan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi kewenangan Panwaslu dan Gakkumdu Kota Tidore Kepulauan untuk menindaklanjutinya. Selain itu, para Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa keterlibatan para pejabat struktural dan PNS sebagaimana didalikannya, bermuara pada perintah yang didasarkan pada penggunaan wewenang Walikota incumbent. “Bahwa berdasarkan keterangan para saksi dalam persidangan, keterlibatan para pejabat struktural tersebut tidak dilaporkan kepada Panwaslu Kota Tidore Kepulauan, sehingga demi kepastian hukum, dalil para Pemohon mengenai keterlibatan pejabat struktural dalam penggalangan dukungan untuk Pasangan Calon Nomor Urut 3 harus dikesampingkan,” urainya.
Mengenai intimidasi yang dilakukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menuturkan berdasarkan keterangan Saksi yang diajukan oleh Pemohon I, Mahkamah menilai telah terjadi intimidasi terhadap Nurdani Konoras. Intimidasi yang dilakukan oleh Walikota (incumbent), lanjut Maria, merupakan pelanggaran terhadap asas “bebas” dalam pemilihan umum. Adapun terhadap bantahan Saksi Iqbal Japono yang diajukan oleh Pihak Terkait, Mahkamah menilai bantahan Saksi tidak relevan karena Saksi Iqbal Japono tidak dapat membuktikan bahwa setiap saat bersama Walikota dan karenanya mengetahui semua tindakan Walikota (incumbent). “Menurut Mahkamah, terhadap tindakan intimidasi tersebut, Pemohon I atau setidaknya Saksi Nurdani Konoras seharusnya melaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu Kepolisian atau setidaknya kepada Panwaslu jika intimidasi tersebut terkait langsung dengan Pemilukada Kota Tidore Kepulauan,” jelasnya.
Dalam pendapat Mahkamah, Hakim M. Arsyad Sanusi menguraikan berdasarkan penilaian hukum di atas, dalam rangkaian satu dengan yang lain, Mahkamah berpendapat bahwa pokok permohonan para Pemohon tidak terbukti secara signifikan mempengaruhi hasil Pemilukada Kota Tidore Kepulauan Tahun 2010. “Karenanya demi hukum SK KPU Nomor 41/Kpts/KPU-TK.030.436364/2010 tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilhan Umum Kepala Daerah dan WAkil Kepala Daerah Kota Tidore Kepulauan Tahun 2010, bertanggal 9 Agustus 2010 dinyatakan berlaku sah menurut hukum, dan selain itu Mahkamah tidak menemukan adanya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif,” paparnya.
Sementara itu, dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah berkesimpulan eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak berdasar dan tidak beralasan hukum. “Permohonan Para Pemohon tidak terbukti menurut hukum,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)