Jakarta, MK Online - Demokrasi itu tidak bagus. Karena dalam sistem demokrasi pengambilan keputusan dan kebijakan diserahkan kepada orang awam. Dengan kata lain, kita menyerahkan nasib kita (negara-red.) kepada orang awam yang kebanyakan tidak memahami ketatanegaraan dengan baik. Bahkan, demokrasi akan melahirkan demagog-demagog dan para narsis. Demagog adalah para pembohong.
Demikian dikatakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh. Mahfud MD, saat memberikan ceramah dalam Kapita Selekta Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLIV Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANAS) RI, Senin (30/8) pagi, di Gedung Pancagatra Lt. 3 Barat Lemhanas RI, Jakarta Pusat. Pada kesempatan itu, Mahfud mengisi materi tentang Perkembangan Demokrasi di Indonesia dengan menyampaikan makalah “Konsolidasi Demokrasi Berdasarkan Konstitusi”.
Uraian Mahfud berdasar pandangan Plato dan Aristoteles tersebut, dimaksudkan untuk mengajak peserta melakukan refleksi terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini. Menurutnya, tidak semua orang setuju dengan demokrasi, karena demokrasi masih memiliki kekurangan dan berbagai kelemahan. Meskipun begitu, ujar Mahfud, demokrasi merupakan pilihan yang terbaik dari alternatif (jelek) yang ada. “Demokrasi adalah pilihan yang paling sedikit jeleknya,” tuturnya.
Oleh karena itu, menurut Mahfud, sistem demokrasi di Indonesia merupakan pilihan yang patut dihormati dan dilaksanakan sebaik mungkin, terlepas dari segala perbedaan pandangan berkaitan dengan demokrasi itu sendiri. Apalagi sekarang, Indonesia telah berhasil memasuki era reformasi. Namun sayangnya, kemajuan yang didapatkan masih sangat sedikit, jika tidak ingin dikatakan stagnan atau bahkan mundur.
“Ada dua pandangan berkaitan dengan demokrasi pasca reformasi. Ada yang bilang demokrasi berhasil. Demokrasi sudah on the track. Salah satunya karena kekuasaan presiden sudah dibatasi. Tetapi, ada juga yang mengatakan demokrasi justru rusak. Tandanya, korupsi semakin merajalela. Bahkan pemerintah menjadi lemah, tidak bisa berbuat apa-apa,” papar Mahfud, seraya mempertanyakan anomali-anomali dalam praktik demokrasi yang muncul pasca reformasi.
Dalam konteks ini, munculnya anomali tersebut dikarenakan Indonesia masih dalam masa transisi demokrasi. Menurut Mahfud, masa transisi demokrasi sebuah negara, secara teoritis, adalah dua kali pemilihan umum, baru kemudian beranjak kepada tahapan berikutnya, yakni konsolidasi demokrasi. Tapi, menurutnya, teori ini tidak berlaku di Indonesia. Sudah tiga kali pemilu, Indonesia masih belum mempunyai kondisi ketatanegaraan yang stabil. “Ada apa ini? Sekarang ini situasi kita sangat ambigu, ini sudah di luar kewajaran,” tanads Mahfud.
Oleh karena itu, menurut Mahfud, tantangan ke depan adalah bagaimana melakukan percepatan dalam proses transisi demokrasi ini. Terutama bagaimana melakukan langkah-langkah dan pembenahan yang komprehensif, sistematis dan mempunyai tujuan yang jelas. Semua itu dilakukan untuk mencapai demokrasi substansial. Karena, lanjut Mahfud, sekarang ini Indonesia masih berkutat pada pelaksanaan demokrasi prosedural, belum menyentuh demokrasi yang bermakna dan substantif.
“Tantangan ke depan adalah mengantarkan transisi demokrasi ke era konsolidasi. Adapun langkah-langkahnya adalah dengan mengarahkan demokrasi prosedural ke demokrasi substansial. Yang di dalamnya ada perlidungan terhadap hak-hak secara fair, serta terwujudnya kesejahteraan serta tujuan negara seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,” pungkas Mahfud. (Dodi/Koen)