Jakarta, MK Online - Frasa “atau kaidah internasional” dalam Pasal 59 Ayat (4) UU 18/2009 UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, dinilai tidak memberikan kepastian hukum karena tidak jelas kaidah internasional yang dimaksud. Selain itu, kaidah internasional juga membutuhkan persetujuan DPR (biasa disebut ratifikasi atas suatu perjanjian internasional yang ditandatangani oleh pemerintah sebelum perjanjian internasional tersebut mengikat warga negara).
Itulah pendapat MK dalam putusan pengujian UU di atas yang dibacakan Jumat (27/8/2010). Selain Pasal 59 Ayat 4, MK juga mengabulkan dua pasal lainnya dari empat pasal yang diajukan, yakni Pasal 59 Ayat (2) dan Pasal 68 Ayat (4). Satu pasal yang ditolak adalah Pasal 44 Ayat (3).
Pemohon pengujian perkara No. 137/PUU-VII/2009 ini adalah Perkumpulan Institute For Global Justice (IGJ), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Sementara Pemohon perorangan adalah Teguh Boediyana, Asroul Abidin, Achmad, Suryarahmat, Asnawi, I Made Suwecha, Robi Agustiar, Warsito, Drh. Sukobagyo Poedjomartono, Drh. Purwanto Djoko Ismail, Elly Sumintarsih, dan Salamuddin.
Pasal 59 Ayat (2) yang juga dikabulkan, berbunyi, “Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan”. Frasa, “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona” yang diujikan Pemohon, dibatalkan pula oleh MK.
Menurut MK, pemerintah bisa lebih bertindak hati-hati sesuai dengan salah satu asas dari asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni asas kehati-hatian. Mestinya, ketentuan yang mengatur tentang impor produk hewan segar itu tidak didasarkan pada kriteria “suatu zona dalam suatu negara”, melainkan pada suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.
Lalu, Pasal Pasal 68 ayat (4) berkaitan dengan kata ”dapat”. Pasalnya berbunyi “Dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner”, yang menurut para Pemohon kata, “dapat” berakibat pada pelanggaran hak kewenangan profesi dokter hewan diturunkan menjadi kewenangan politik. Inipun dikabulkan MK karena kata-kata tersebut kontraproduktif dengan tujuan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pasal yang ditolak adalah Pasal 44 ayat (3) yang menyatakan “Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” karena dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan frasa, ”Unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”,dalam Pasal 59 ayat (2); frasa, ”Atau kaidah internasional” dalam Pasal 59 ayat (4); kata ”dapat” dalam Pasal 68 ayat (4) UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Yazid/mh)