Jakarta, MK Online - Korupsi sudah sangat merajalela. Ia sudah sangat merugikan bangsa dan negara. Karena ketamakan segelintir orang, sebagian besar rakyat menderita. Dan, lebih parah lagi, negara semakin rapuh dan hampir rubuh. Oleh karena itu, bagi para pelaku, hukuman yang pantas bukanlah yang biasa, tapi harus luar biasa. Salah satunya adalah hukuman mati.
Itulah salah satu gagasan yang muncul ketika Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD, menjadi bintang tamu dalam acara Provocative Proactive yang ditayangkan Metro TV, Kamis (26/8) malam. Acara dengan setting obrolan warung kopi ini digawangi oleh empat sosok yang dianggap mewakili generasi muda, mereka: Pandji Pragiwaksono, Ronald Suryapradja, Raditya Dika, dan Jeflo. Malam itu isu yang diangkat adalah tentang korupsi.
Pada kesempatan tersebut, Mahfud menyatakan sikap dan pandangannya tentang fenomena korupsi di Indonesia. Ia menyoroti korupsi dari segi pengaturan hingga penegakan hukumnya. Menurut Mahfud, hukuman mati bagi koruptor sudah diakomodir oleh undang-undang, namun keberlakuan hukuman mati itu hanya bisa diterapkan pada kondisi tertentu saja. “Hanya berlaku bagi keadaan tertentu saja,” ujarnya.
“Lihat besar dan perannya masing-masing. Serta kedudukannya (pelaku, red) dalam negara. Bagi yang menduduki posisi kunci layak untuk dihukum mati,” sahut Mahfud ketika menanggapai celotehan Raditya yang mempertanyakan kenapa tidak hukuman mati bagi seluruh koruptor.
Tetapi menurutnya, dari segi pengaturan, hukuman terhadap para koruptor sudah cukup bagus namun terkadang dalam praktiknya tidak dijalankan dengan optimal. ”Pengaturan sudah baik, cuman sering dibelok-belokkan. Karena aturan itu hanyalah norma umum,” tuturnya.
Oleh karenannya, dalam konteks pemberantasan korupsi, lanjut Mahfud, tidak terlepas dari peran penegak hukumnya, yaitu polisi, jaksa dan hakim. Mahfud menyayangkan sikap jaksa dan hakim yang kadang masih kurang fight dalam menindak para koruptor.
“Tergantung tuntutan jaksa dan keberanian hakim. Terkadang jaksa tuntutannya ringan dan hakim pun putusannya kurang berani. Padahal hakim bisa memutus melebihi tuntutan jaksa,” ujarnya.
Selanjutnya, perbincangan juga menyentuh tentang pemberian grasi dan remisi bagi para koruptor, yang akhir-akhir ini menjadi sorotan masyarakat. Menurut Mahfud, pemberian grasi dan remisi itu mempunyai landasan hukum yang kuat. “Diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Itu bukan suatu kewajiban, itu merupakan suatu kebolehan. Memberi bisa, tidak memberi pun bisa. tergantung alasannya,” ungkap Mahfud.
Mahfud pun menganalogikan pemberian grasi dan remisi tersebut dengan sifat pemaafnya Tuhan. Menurutnya, meski Tuhan itu pemaaf (bahkan Maha Pemaaf) tapi ada dosa-dosa yang tidak dimaafkan., khususnya pada kesalahan-kesalahan tertentu. “Korupsi itu extra ordinary dosa. Seperti syirik, itu tidak bisa dimaafkan. Ini (merupakan, red) extra ordinary crime,” tegasnya. (Dodi/Koen)