Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak untuk seluruh permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilukada Kabupaten Semarang. Putusan Nomor 135/PHPU.D-VIII/2010 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi, Rabu (25/8), di Ruang Sidang Pleno MK.
Mengenai dalil Pemohon adanya kecurangan terhadap surat suara tidak sah sebesar 30.387 suara yang diduga kuat milik Pemohon, Mahkamah menilai Pemhon tidak dapat membuktikan kebenaran dalil tersebut di hadapan Mahkamah. Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi menjelaskan Saksi-saksi Pemohon yang dihadirkan justru hanya menduga bahwa surat suara yang tidak sah tersebut adalah milik Pemohon. Saksi Pemohon juga mengakui bahwa kesalahan pencoblosan lebih dari satu kali harus dinyatakan tidak sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi, para saksi tersebut bukanlah saksi resmi yang diberi mandat oleh Pemohon untuk menyaksikan jalannya penghitungan suara di TPS, sehingga hanya menyaksikan penghitungan suara dari kejauhan, bahkan tidak sampai tuntas dan hanya di beberapa TPS saja. Sementara itu, saksi resmi yang diberi mandat hampir seluruhnya tidak mengajukan keberatan pada saat dilakukan rekapitulasi penghitungan suara. Lagipula, sejumlah 30.387 suara tidak sah tidak bisa serta-merta diasumsikan milik Pemohon seluruhnya, karena sangat terbuka adanya kemungkinan surat suara tersebut adalah milik Pasangan Calon lain ataupun surat suara tersebut memang benar-benar tidak sah menurut hukum. “Oleh karena itu, Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah karena dalil yang diajukan bersifat asumstif yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya menurut hukum secara keseluruhan. Mahkamah menilai dalil Pemohon mengenai adanya kecurangan terhadap surat suara tidak sah di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) tidak terbukti sehingga harus dikesampingkan,” jelasnya.
Sedangkan mengenai dalil dugaan praktik uang (money politic), Arsyad menjelaskan Mahkamah menilai Pemohon tidak dapat membuktikan terjadinya pelanggaran-pelanggaran pidana Pemilu berupa money politics yang bersifat terstruktur, sistematif, dan masif selama pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Semarang Tahun 2010. Mahkamah, lanjut Arsyad, juga tidak menemukan adanya petunjuk bahwa antara perbuatan pelanggaran pidana satu dengan lainnya memiliki keterkaitan satu dengan lainnya, sehingga seandainya pun benar terjadi tindak pidana Pemilukada selama berlangsungnya Pemilukada di Kabupaten Semarang, hal tersebut bersifat parsial dan sporadis. Berdasarkan keterangan tertulis dari Panwaslukada Kabupaten Semarang yang juga didukung oleh keterangan saksi Termohon selaku pemantau Pemilukada independen, berbagai kasus dugaan money politics tidak saja dilakukan oleh Pasangan Calon Terpilih, namun juga oleh seluruh Pasangan Calon lainnya, tidak terkecuali Pemohon itu sendiri. Akan tetapi, setelah berbagai dugaan kasus money politics tersebut ditindaklanjuti oleh Panwaslukada, ternyata pada umumnya tidak dapat ditindaklanjuti karena pelapor tidak dapat menunjukkan barang bukti dan 2 (dua) orang saksi serta pelapor tidak memenuhi syarat material laporan. “Berdasarkan pertimbangan dan fakta hukum di atas, Mahkamah menilai dalil Pemohon mengenai terjadinya money politics di seluruh Kecamatan di Kabupaten Semarang secara sistematis, masif, dan terstruktur adalah tidak terbukti dan tidak beralasan hukum, sehingga harus dikesampingkan,” paparnya.
Pemohon, jelas Arsyad, juga mendalilkan tidak netralnya penyelenggara Pemilukada dari mulai tingkat KPPS, PPK, hingga KPU Kabupaten, serta tidak profesional dan tidak independen karena tidak menindaklanjuti terhadap laporan pengaduan dugaan pelanggaran. Arsyad memaparkan Mahkamah menilai dalil Pemohon sangatlah umum dan tanpa rincian yang jelas serta tanpa didukung dengan bukti-bukti yang dapat memperkuat dalilnya tersebut. Sebaliknya, Termohon dapat mematahkan dalil Pemohon dengan mengajukan bantahan berupa keterangan yang membuktikan tidak pernah sekali pun Termohon memperoleh laporan dari masyarakat dan/atau Panwaslukada terkait dengan netralitas dan profesionalitas dalam penyelenggaraan Pemilukada di Kabupaten Semarang Tahun 2010. Sementara itu, terhadap laporan pengaduan berupa pelanggaran pidana sudah seharusnya menjadi ranah kewenangan dari Panwaslukada dan Bawaslu yang kemudian diteruskan kepada pihak Kepolisian untuk ditindaklanjuti. “Mahkamah menilai dalil Pemohon terkait dengan tidak netral dan tidak profesonalnya penyelenggara Pemilukada adalah tidak beralasan dan tidak berdasar hukum,” paparnya.
Dalam konklusi yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyimpulkan bahwa eksepsi Termohon tidak tepat dan tidak beralasan menurut hukum. “Permohonan Pemohon tidak terbukti menurut hukum,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)