Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki menilai wacana lembaga pengawasan untuk hakim MK tak terlalu mendesak dan penting. Sebab, menurut dia, pengawasan di internal MK sudah cukup mumpuni untuk mengawasi para hakim.
"Saya tidak melihat ada sesuatu yang membuatnya penting untuk segera dibentuk," kata Sodiki di Jakarta kemarin (17/8). Sebab, kata dia, dalam setiap proses pembuatan putusan di MK, tidak ada hakim konstitusi yang mengurusinya sendiri. Semua putusan harus melalui rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang dihadiri seluruh hakim konstitusi. Karena itu, dengan sendirinya terjadi pengawasan antarhakim.
Selain itu, imbuh Sodiki, selama ini pimpinan MK cukup responsif menindaklanjuti isu-isu tak sedap. Misalnya beberapa waktu lalu ada seseorang yang melaporkan bahwa seorang panitera pengganti MK dan hakim menerima duit Rp 2 miliar untuk memenangkan gugatan pilkada Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Ketua MK Mahfud MD, kata Sodiki, langsung memanggil orang tersebut. Dia diminta menyebutkan siapa hakim dan panitera tersebut. Ternyata, kata dia, orang itu tak bisa menunjukkan. "Dia nggak bisa jawab. Soalnya, dia bilang itu katanya, katanya, katanya. Berarti nggak bisa dipercaya dia," ujar hakim konstitusi kelahiran Blitar ini.
Sodiki lebih sepakat apabila seleksi hakim konstitusi yang lebih diperketat. Dengan seleksi calon hakim yang selektif, beban pengawasan menjadi lebih ringan. Bahkan, kata dia, seleksi tersebut mesti mencantumkan rekam jejak calon hakim sejak sebelum lulus sarjana strata satu. "Apakah dia pernah terlibat kasus hukum, narkoba misalnya? Itu justru lebih penting daripada pengawasan terhadap hakim," katanya.
Pendapat Sodiki ditolak mentah-mentah pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra. Menurut dia, produk pengawasan terhadap hakim MK tak pernah jelas. Justru ketika pengawasan itu diserahkan kepada suatu lembaga, pengawasan tersebut akan jauh lebih baik.
Saldi mengakui, MK selama ini masih mampu menjaga reputasi baiknya di mata masyarakat. Namun, bagaimanapun juga, kewenangan pengawasan tersebut harus diperjelas. "Yang jelas, kekuasaan tetap harus dibatasi," katanya.
Kata Saldi, yang paling ideal mengawasi hakim konstitusi adalah Komisi Yudisial (KY). Lembaga pimpinan Busyro Muqoddas itu dulu memang sempat mengawasi hakim konstitusi sebelum akhirnya dihapus melalui judicia review oleh MK pada 2006 silam. "Kita tetap berharap KY yang akan mengawasi hakim MK. Mereka kan juga mengawasi hakim MA (Mahkamah Agung, Red.). Hakim MK dan MA kan nggak ada bedanya," katanya. Tapi, kata dia, itu harus melalui revisi UUD 1945.
Namun, kata Saldi, yang paling realistis adalah merevisi Undang-Undang nomor 24/2003 tentang MK. Pasal-pasal mengenai Majelis Kehormatan MK perlu diperjelas. Terutama unsur-unsur yang terlibat di dalamnya. Dia mengusulkan selain hakim konstitusi, unsur dari masyarakat juga harus dilibatkan.
Majelis Kehormatan adalah majelis yang dibentuk untuk menyidang hakim MK. Melalui forum tersebut, hakim bisa diberhentikan dengan tidak hormat apabila memenuhi syarat-syarat pemberhentian yang diatur dalam pasal 23 ayat 2 UU MK. "Siapa saja yang masuk di Majelis Kehormatan, itu harus diperjelas melalui revisi UU MK," katanya.
aga, JPNN.COM