Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstutisi (MK) tidak dapat menerima permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah Kab. Belitung Timur. Putusan perkara Nomor 115/PHPU.D-VIII/2010 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD didampingi oleh delapan Hakim Konstitusi, Jumat (13/8), di Gedung MK. Perkara ini dimohonkan oleh Khairul Effendi-Erwandi Arani yang merupakan bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Belitung Timur tahun 2010 – 2015 yang didiskualifikasi oleh KPU Kabupaten Belitung Timur karena dianggap tidak memenuhi persyaratan sebagai calon dari sisi jasmani.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, KPU Kabupaten Belitung Timur sebagai Termohon dalam jawabannya membantah dalil-dalil pokok permohonan Pemohon serta mengajukan 4 (empat) macam eksepsi, yaitu terkait dengan: (1) kompetensi absolut Mahkamah; (2) permohonan Pemohon kabur (obscuur libel), (3) status Advokat dari Kuasa Hukum Pemohon, dan (4) kedudukan hukum (legal standing) Pemohon.
Akil menjelaskan jawaban Termohon mengenai ruang lingkup kewenangan Mahkamah adalah tidak tepat dan tidak beralasan hukum, sehingga Mahkamah berwenang mengadili pelanggaran Pemilu atau Pemilukada untuk menentukan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, termasuk penghitungan hasil perolehan suara yang berpengaruh terhadap penetapan hasil Pemilu atau Pemilukada. Dasar konstitusional atas sikap Mahkamah yang seperti itu, lanjut Akil, adalah ketentuan Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili ..., dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Di dalam ketentuan tersebut jelas dinyatakan bahwa Mahkamah mengadili dan memutus “hasil pemilihan umum” dan bukan sekedar “hasil penghitungan suara pemilihan umum” saja. “Mahkamah sebagai lembaga peradilan menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan umum” dan bukan sebagai peradilan angka, melainkan sebagai peradilan yang mengadili masalah-masalah yang juga terjadi dalam proses-proses pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada,” jelasnya.
Akil juga memaparkan Termohon mengajukan eksepsi yang menyatakan permohonan Pemohon tidak jelas, kabur, dan membingungkan. “Terhadap eksepsi tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa eksepsi Termohon tidak tepat menurut hukum, karena substansi eksepsinya sangat berkaitan erat dengan pokok perkara (bodem geschil), sehingga eksepsi a quo harus dikesampingkan,” urainya.
Sedangkan eksepsi Termohon mengenai kedudukan hukum Pemohon, Akil menguraikan Mahkamah menilai kedudukan hukum Pemohon yang nota bene bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Belitung Timur adalah tidak memenuhi persyaratan untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ayat (1) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 dan Pasal 3 PMK 15/2008. Artinya, jelas Akil, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga Mahkamah tidak dapat menerima permohonan a quo. Namun demikian, apabila permasalahan serupa terus berlangsung dan tidak dapat teratasi lagi maka pada kasus-kasus selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan untuk memeriksa pokok perkara kasus-kasus tersebut dengan menggunakan penafsiran ekstensif guna memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dalam sengketa Pemilukada. Jika semula kedudukan hukum hanya diberikan kepada Pasangan Calon yang sudah resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan
Umum sebagai Pasangan Calon, maka untuk yang akan datang dapat saja Mahkamah memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pasangan Calon yang telah secara resmi mendaftarkan diri namun tidak ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum karena alasan-alasan yang dapat melanggar norma-norma konstitusi, nomokrasi, dan demokrasi. “Berdasarkan konstitusi dan tata hukum, demi menegakkan konstitusi dan demokrasi, Mahkamah dapat menggali dan menemukan hukum baru melalui penafsiran ekstensif seperti itu. Atas pertimbangan dan fakta hukum tersebut, eksepsi Termohon sepanjang mengenai kedudukan hukum Pemohon adalah beralasan hukum,” paparnya.
Dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyimpulkan Eksepsi Termohon sepanjang mengenai kedudukan hukum Pemohon beralasan hukum. “Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam perkara a quo; dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan,” tandasnya.
Melalui kuasa hukumnya Refly Harun, Pemohon mendalilkan berkeberatan atas Surat Keputusan (SK) KPU 25/Kab.KPU-Beltim/2010 pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagai calon terkait dengan kondisi luas pandang mata Khairul Effendi atas rekomendasi RSPAD. Refly menuturkan atas terbitnya SK KPU tersebut, Pemohon mengajukan gugatan kepada PTUN Palembang secara garis besar menekankan pada substansi penilaian SK tidak memenuhi persyaratan yang hanya didasarkan pada masalah luas pandang mata dan prosedur tes kesehatan yang dilakukan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) yang dinilai cacat hukum oleh PTUN Palembang karena bertentangan dengan Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009. (Lulu Anjarsari/mh)