Jakarta, MK Online - Sidang lanjutan terhadap perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah Kabupaten Kepulauan Sula kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (11/8), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 130/PHPU.D-VIII/2010 dan 131/PHPU.D-VIII/2010 ini dimohonkan oleh dua pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Rusmin Lantara-Nurdin Umasangadji dan Usman Drakel Umamit.
Dalam sidang mendengarkan jawaban KPU, Kabupaten Kepulauan Sula sebagai Termohon yang diwakili kuasa hukumnya Elza Syarief membantah dalil yang diungkapkan para Pemohon. Menurut Elza, permohonan Pemohon tidak jelas dan kabur. “Walaupun objek permohonan Pemohon adalah surat keputusan Termohon Nomor 46/Kab/PBWP/2010 tentang Berita Acara Penghitungan Suara Hasil Pemilukada Kabupaten Kepulauan Sula tanggal 27 Juli 2010, dalam posita dan petitum tidak mempersoalkan hasil penghitungan suara. Pemohon juga tidak menyertakan mana penghitungan suara yang benar menurut Pemohon yang nilainya signifikan memengaruhi perolehan suara Pemohon,” urainya.
Elza juga memaparkan bahwa tidak ada penjelasan dalam dasar permohonan (posita) dan tuntutan (petitum) para Pemohon mengenai penghitungan suara Pemohon. Selama ini, lanjut Elza, tidak ada keberatan calon yang diajukan oleh pasangan calon. “Selain itu, Pemohon tidak mengurai secara jelas kesalahan hasil penghitungan suara yang dilakukan Termohon,” jelasnya.
Menurut Elza, materi keberatan yang didalilkan para Pemohon bukan merupakan kewenangan MK. Terkait dalil dalam posita Pemohon, jelas Elza, sama sekali tidak menguraikan selisih hasil penghitungan suara Pemohon, namun hanya terkait dengan dalil money politic, pemasangan baliho, masalah DPT dan pemilih yang tidak mendapatkan undangan, serta anggaran Panwaslu. “Hal-hal yang dilakukan Pemohon tidak ada kaitannya dengan perolehan suara Pemohon atau tidak dapat menghilangkan suara Pemohon. Khusus sanksi pasangan calon mengenai money politic, urai Elza, harus ada putusan pengadilan yang bersifat tetap terlebih dahulu. Money politic bukan menjadi objek sengketa Pemilukada yang merupakan kewenangan MK,” paparnya.
Elza juga menyampaikan bahwa para Pemohon tidak merinci di TPS dan desa yang menjadi tempat terjadinya selisih hasil suara yang diklaim pemohon. Selain itu, menurut Elza, keberatan yang diajukan oleh Pemohon adalah pelanggaran yang menjadi kewenangan dari Panwaslukada Kabupaten Kepulauan Sula dan belum ada putusan pengadilan mengenai pelanggaran yang mempunyai kekuatan hukum tetap didalilkan oleh Pemohon tersebut. “Surat Panwaslukada Kepulauan Sula yang menyatakan bahwa terdapat pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan Pemohon adalah surat yang dibubuhi tanda tangan palsu Ketua Panwaslukada. Sebenarnya, tidak ada sidang pleno di Panwaslukada Kabupaten Sula mengenai pelanggaran yang didalilkan Pemohon,” jelasnya.
Pada sidang ini, para pemohon mengajukan 23 orang saksi yang menerangkan adanya money politic yang dilakukan oleh Pihak Terkait yakni Ahmad Hidayat Mus-Said Pauwah, mutasi PNS yang tidak mendukung Pihak Terkait, intimidasi yang dilakukan oleh Pihak Terkait, dan lainnya. Salah seorang saksi Pemohon, Asrin Umamit menjelaskan bahwa ia dan istrinya mendapatkan jatah Rp 200 ribu yang dibagikan oleh A Liong, adik dari Pihak Terkait yang merupakan bupati incumbent. Hal serupa juga diungkapkan saksi Pemohon lainnya yang melihat pembagian uang pada saat deklarasi Pihak Terkait. Sementara itu, saksi Pemohon lainnya Jamal, mengaku dipukul oleh Tim Sukses Pihak Terkait karena dinilai tidak mendukung Pihak Terkait. (Lulu Anjarsari/mh)