Jakarta, MK Online - Bupati Maluku Tengah, Abdullah Tuasikal (Pemohon I), dan Ketua DPRD Maluku Tengah, Asis Matulette (Pemohon II) mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (4/8) pagi. Panel Hakim dalam permohonan ini adalah Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi selaku Ketua Panel beserta M. Akil Mochtar dan Hamdan Zoelva masing-masing sebagai Anggota Panel.
Pada sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan tersebut, Pemohon melalui kuasa hukumnya menyampaikan pokok-pokok permohonannya. Dalam permohonannya, kuasa Pemohon, Muhammad Asrun menyatakan, intinya mereka keberatan atas tindakan Menteri Dalam Negeri yang menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 29 Tahun 2010 tentang Batas Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Kabupaten Maluku Tengah.
Menurut Pemohon, terbitnya Permendagri itu telah bertolak-belakang dengan Putusan MK Nomor 123/PUU-VII/2009 terkait pegujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru Di Provinsi Maluku. Yang mana dalam putusan MK tersebut dinyatakan bahwa Pasal 7 ayat (4) UU 40/2003 berikut Penjelasannya dan Lampiran II tentang batas wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat sepanjang menyangkut Pasal 7 ayat (2) huruf b (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4350) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Tindakan Termohon menerbitkan Permendagri dapat ditafsirkan sebagai legislative review yang bukan kewenangan konstitusional Termohon. Termohon juga telah menghidupkan kembali Pasal 7 Ayat 2 huruf b UU 40 tahun 2003 padahal sudah dibatalkan oleh MK,” tegas Asrun.
Asrun menambahkan, dengan adanya Permendagri itu, telah berpotensi memunculkan instabilitas masyarakat Maluku akibat inkonsistensi pelaksanaan putusan MK. “Inkonsistensi putusan MK mendapat reaksi negatif dari masyarakat di Maluku,” tambahnya.
Oleh karena itu, lanjut Asrul, kewenangan konstitusional Pemohon seperti diatur dalam pasal 18 Ayat (1), Pasal 25A, Pasal 27 dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah dilanggar oleh Termohon. “Telah mengurangi wilayah kerja Pemerintah Maluku Tengah,” katanya.
Akhirnya, dalam salah satu petitumnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Permendagri 29 Tahun 2010 bertentangan dengan putusan MK serta menyatakan Permendagri tersebut tidak sah dan berlaku mengikat lagi.
Setelah medengarkan pokok-pokok dan petitum permohonan, Panel Hakim memberikan beberapa saran dan masukan terhadap Pemohon. Pada intinya Panel Hakim menyarankan kepada Pemohon untuk memperjelas dan mempertegas argumentasi terkait objectum litis (objek permohonan) dan subjectum litis (subjek atau legal standing Pemohon).
“Perlu diperhatikan beberapa hal. Pertama, dasar kewenangan apa yang menjadi landasan permohonan. Ini harus melihat otoritas-otoritas kewenangan yang ada dalam UUD; Kedua, bagaimana otoritas tersebut diatur. Apakah implisit terhadap kewenangan pokok; dan ketiga, kewenangan konstitusional apa yang disengketakan,” papar Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi.
Pernyataan itu kemudian ditimpali oleh Hakim Konstitusi Akil Mochtar. “Jika melihat posita dan petitumnya, maka akan hilang sengketa kewenangannya. Harus ada kewenangan langsung yang disengketakan, bukan produk dari kewenangan itu,” ujarnya. Selanjutnya, Akil juga menyarankan kepada para pihak untuk melakukan mediasi. “Dalam SKLN bisa diupayakan mediasi,” imbuhnya.
Adapun tanggapan dari Termohon, yang saat itu diwakili oleh Biro Hukum Kemendagri, Yudan Arief Fachrullah, menyatakan bahwa dalam membentuk Permendagri tersebut pihaknya mendasarkan kepada tiga landasan yuridis. “Ada tiga pilar hukum, yakni: pertama, kewenangan. Kewenangan untuk membentuk peraturan menentukan batas wilayah dalam UU 40 tahun 2003 tidak dicabut oleh MK. Kewenangan tersebut masih diletakkan pada Mendagri; kedua, prosedur. Prosedur yang kami gunakan sesuai Pasal 198 UU 32 tahun 2004; dan ketiga, substansi. Ini yang menjadi perdebatan. Tapi, jika produk yang dipermasalahkan oleh Pemohon, maka bukan disini tempatnya,” kata Yudan.
Untuk selanjutnya, Panel Hakim memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai beberapa masukan yang telah diberikan. “Kami berikan waktu 14 hari untuk perbaikan permohonan, dengan tidak menutup kemungkinan dilakukan mediasi,” ucap Arsyad saat menutup persidangan. (Dodi/mh)