Jakarta, MK Online - Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengatakan, sebelum terjadi amandemen UUD 1945, hukum tidak pernah ditegakkan secara hukum. Kalau terjadi penyimpangan, penyelesaiannya seringkali melalui cara politik. “Termasuk masalah hukum, penyelesaiannya pun melalui cara politik,” ungkap Fadlil saat memberikan kuliah singkat kepada para mahasiswa FH Universitas Jember, Rabu (4/8) siang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Fadlil menjelaskan, tahun 1945 dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi. Namun seiring bergulirnya waktu, terjadi pergeseran. Dalam situasi terpaksa, negara kesatuan berganti menjadi negara serikat pada 1949. Undang-undangnya pun menjadi UUD RIS. Selanjutnya, tahun 1950 bentuk negara Indonesia kembali ke negara kesatuan, dengan UUDS 1950.
“Meskipun susunan dan bentuk negara saat itu terus mengalami perubahan, terjadi dinamika, namun ide yang tidak pernah tergeser adalah Indonesia tetap menjadi negara yang berdasarkan demokrasi dan hukum,” imbuh Fadlil yang didampingi moderator Widodo Eka Tjahjana dari Universitas Jember.
Setelah berjalan beberapa waktu semenjak diberlakukannya UUDS 1950, maka pada 1955 negara Indonesia membentuk konstituante. Tetapi pada saat itu situasi Indonesia dinyatakan deadlock, meskipun dalam pengertian bahwa sebenarnya Indonesia tidak mengalami deadlock. “Karena banyak pakar yang menyebutkan bahwa situasi saat itu tidak deadlock. Penyebutan deadlock dinyatakan secara sepihak oleh kepala negara,” ungkap Fadlil.
Hingga akhirnya dikeluarkanlah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan menyatakan negara Indonesia kembali kepada UUD 1945. Namun demikian, lanjut Ahmad Fadlil, dalam praktiknya pelaksanaan UUD 1945 tidak berjalan semestinya. Presiden Soekarno dengan gaya kepemimpinan otoritarianisme, menjadi tokoh sentral dengan alasan sebagai ‘penutup’.
“Alasan Soekarno, revolusi belum selesai. Akibatnya, negara diselenggarakan tidak menurut hukum dan demokrasi,” kata Fadlil.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia pada masa itu berada di bawah kekuasaan pemerintahan, sehingga Presiden Indonesia dapat campur tangan dan turut serta dalam urusan kehakiman. Alasan Soekarno ketika itu, lagi-lagi demi kepentingan revolusi yang katanya belum juga selesai.
“Tahun 1959 era itu berakhir dan menjadi era orde lama hingga 1965. Kemudian mulai 1965 menjadi era orde baru dan muncul semangat melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Sampai akhirnya terjadi Reformasi 1998, lalu pada 1999-2002 dilakukan amandemen UUD 1945, hingga dibentuklah MK pada 2003,” tandas Fadlil.
Kini setelah MK terbentuk, ungkap Fadlil, kalau Presiden melanggar UUD 1945 terdapat dua model penyelesaiannya. Pertama, melalui model mekanisme politik di MPR dan DPR. Kedua, melalui model mekanisme hukum di MK. “Inilah bentuk checks and balances antara lembaga negara,” tandas Fadlil. (Nano Tresna A.)