Jakarta, MK Online - Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah Kab. Belitung Timur digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (28/7), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 115/PHPU.D-VIII/2010 dimohonkan oleh Wakil Bupati Belitung Timur Khairul Effendi dan Sekretaris Daerah Belitung Timur Erwandi Arani. Khairul Effendi-Erwandi Arani merupakan bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Belitung Timur tahun 2010 – 2015 yang didiskualifikasi oleh KPU Kab. Belitung Timur karena dianggap tidak memenuhi persyaratan sebagai calon dari sisi jasmani.
Melalui kuasa hukumnya Refly Harun, Pemohon berkeberatan atas Surat Keputusan (SK) KPU 25/Kab.KPU-Beltim/2010 pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagai calon terkait dengan kondisi luas pandang mata Khairul Effendi atas rekomendasi RSPAD. Refly menuturkan atas terbitnya SK KPU tersebut, Pemohon mengajukan gugatan kepada PTUN Palembang secara garis besar menekankan substansi penilaian SK tidak memenuhi persyaratan yang hanya didasarkan pada masalah luas pandang mata dan prosedur tes kesehatan yang dilakukan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) yang dinilai cacat hukum oleh PTUN Palembang karena bertentangan dengan Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009.
“Putusan PTUN Palembang 30 Juni 2010 pada intinya mengabulkan Penggugat (Pemohon, red.) untuk seluruhnya. Selain itu, menyatakan batal SK KPU tentang penetapan pasangan calon khusus lampiran 2 yang mencantumkan nama Pemohon sebagai calon yang didiskualifikasi Termohon. Kemudian, dalam putusan tersebut juga memerintahkan Tergugat mencabut SK KPU tentang penetapan pasangan calon dan memerintahkan Tergugat menetapkan SK KPU baru,” ujarnya.
Berdasarkan Putusan dari PTUN Palembang, lanjut Refly, maka Pemohon adalah pasangan calon Pemilukada Belitung Timur tahun 2010 - 2015 yang haknya secara semena-mena dan melanggar hukum dilakukan oleh Termohon. “Termohon telah bersikap tidak netral dengan berpihak pada kepentingan politik tertentu dengan tidak meloloskan Pemohon sebagai pasangan calon,” jelasnya.
Menurut Refly, indikasi pelanggaran terlihat dalam prosedur pemeriksaan kesehatan yang cacat hukum. Berdasarkan Pasal 14 ayat 1 Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009, lanjut Refly, jelas terlihat pemilihan RSPAD, Jakarta, cacat prosedur karena seharusnya pemeriksaan kesehatan dilakukan di RSUD Belitung Timur. “Hal ini sesuai dengan asas efisiensi yang menjadi pegangan penyelenggara pemilu. Seandainya, KPU Belitung Timur tidak bisa melakukan pemeriksaan kesehatan sesuai asas efisiensi seharusnya Termohon merujuk ke rumah sakit lain yang terdekat di kabupaten lain atau rumah sakit provinsi. Faktanya, beberapa Pemilukada yang lain merujuk ke rumah sakit setempat. Argumentasi Pemohon ini dibenarkan oleh Putusan PTUN,” urai Refly.
Refly menjelaskan bahwa yang berwenang dalam menentukan kelolosan pasangan calon bukanlah rumah sakit, tapi Termohon sebagai penyelenggara pemilu. “Rumah sakit hanya berhak menyatakan apakah Pemohon mampu menjalankan kewajibannya. Sedangkan ketentuan untuk menerima atau tidak persyaratan Pemohon adalah kewenangan Termohon,” ujarnya.
Abaikan Putusan PTUN
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim Panel yang terdiri dari Moh. Mahfud MD sebagai Ketua Panel, serta Maria Farida Indarti dan Arsyad Sanusi sebagai Anggota Panel mempertanyakan sikap Termohon yang seolah mengabaikan Putusan PTUN Palembang. “Seharusnya Termohon memiliki kesadaran dan kepatuhan hukum dalam setiap peradilan dalam peradilan apapun. Dalam amar putusan PTUN Palembang, ada kalimat ‘memerintahkan kepada Tergugat untuk menunda penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten Belitung Timur’ seharusnya Termohon melaksanakan putusan itu,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Panel Moh. Mahfud MD menuturkan ada hal-hal yang aneh dengan sikap KPU Kab. Belitung Timur. Menurut Mahfud, dengan keluarnya surat rekomendasi dari RSPAD yang langsung mendiskualifikasi Pemohon, maka terlihat Termohon telah melakukan kolusi dengan rumah sakit. “Dokter itu tidak boleh mendiskualifikasi, tetapi hanya boleh menerangkan tentang kondisi kesehatan seseorang. Kemudian, mengenai putusan PTUN Palembang, seharusnya kalau mau naik banding, Termohon menunda pelaksanaan kekuasaan Termohon, bukan menunda hak asasi seseorang. Harusnya Pemohon didaftarkan dulu sesuai Putusan PTUN, baru Termohon ajukan banding. Itu harus dibuktikan dalam sidang Mahkamah ini,” paparnya.
Sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Kamis, 5 Agustus 2010. (Lulu Anjarsari/mh)