MK Tempat Mengadu Kerugian Hak Konstitusionalitas Rakyat
Senin, 02 Agustus 2010
| 13:15 WIB
Staf Ketua MKRI, Fajar Laksono Soeroso memberikan kuliah singkat kepada para mahasiswa FL2MI (Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia) Jogjakarta yang berkunjung ke MK pada Jumat (30/7).
Jakarta, MK Online - Judicial Review sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) diperlukan karena pada masa lalu di Indonesia banyak undang-undang yang lahir sebagai produk politik. Dalam proses perumusan undang-undang, kepentingan-kepentingan politik seringkali mendominasi.
“Berbagai kepentingan bertaruh dalam menentukan undang-undang, agar kepentingan mereka bisa diakomodir dalam UU sehingga sering mengabaikan kepentingan rakyat,” jelas Fajar Laksono Soeroso, Staf Ketua MKRI, saat memberikan kuliah singkat kepada para mahasiswa FL2MI (Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia) Jogjakarta yang berkunjung ke MK pada Jumat (30/7) pagi.
Dikatakan Fajar, sebelum amandemen UUD 1945 pada 1999-2002, belum ada lembaga negara di Indonesia yang dapat menguji UU terhadap UUD. Padahal kala itu banyak sekali hak konstitusionalitas rakyat yang terabaikan, bahkan dilanggar.
“Namun setelah MK lahir pada Agustus 2003, undang-undang yang dianggap melanggar hak konstitusionalitas rakyat, dapat diuji atau dilakukan judicial review. Hal ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menggugat UU,” ungkap Fajar di hadapan para mahasiswa.
Menurut Fajar, kehadiran MK ibarat “selang berisi air yang semula ditutup, tiba-tiba dibuka dan memuntahkan banyak air.” Dengan demikian, setelah peluang semakin terbuka melakukan uji materi UU, maka rakyat yang merasa dirugikan hak konstitusionalitasnya berbondong-bondong datang ke MK.
Selain menjelaskan wewenang MK untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD, Fajar pun menjelaskan wewenang MK lainnya. Yakni, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara. Perkara ini hanya bisa diajukan oleh lembaga negara yang kewenangannya diambil oleh lembaga negara lain. Peran MK adalah sebagai penengah.
Kewenangan lain yang dimiliki MK adalah memutus sengketa hasil pemilihan umum. MK berwenang memutus sengketa pemilihan umum. Sejak 2008, wewenang MK memutus sengketa pemilu ditambah lagi memutus sengketa pemilu kepada daerah (pemilukada). Sebab, pemilukada pun dianggap sebagai rezim atau bagian dari pemilihan umum.
Terakhir, ada kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela (Nano Tresna A/Yazid)