Jakarta, MK Online - Sebanyak 18 perguruan tinggi tampil dalam putaran pertama babak penyisihan “Debat Konstitusi Perguruan Tinggi Se-Indonesia” di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Sabtu (31/7). Debat konstitusi itu diwarnai antusiasme yang tinggi dan atmosfer yang panas dari para peserta dalam menyampaikan argumentasi, logika berpikir terkait tema debat “Hak Recall Partai Politik”.
Perang argumentasi yang dilandasi pemikiran ilmiah, terlihat saat mempertemukan dua nama besar, Universitas Airlangga Surabaya (Tim Pro) dan Universitas Padjadjaran Bandung (Tim Kontra) dalam sesi pertama. Tim Pro menekankan esensi demokrasi yang merupakan penguatan organ politik, termasuk juga penguatan sistem partai politik itu sendiri. Sementara peserta dari Tim Kontra menjelaskan secara empiris rakyat Indonesia membutuhkan kewenangan hak recall, bukan partai politik.
Selain itu, ada Universitas Muhammadiyah Jogjakarta (Tim Pro) yang berhadapan dengan Universitas Diponegoro (Tim Kontra). Tim Pro menerangkan hak recall sangat dibutuhkan partai politik. Tujuannya, agar dapat lebih memberdayakan partai politik. “Dengan demikian, hak recall bagi partai politik merupakan sebuah keniscayaan,” ucap peserta dari Tim Pro.
Sebaliknya Tim Kontra sepakat bahwa hak recall adalah untuk rakyat, bukan untuk partai politik. Mereka mencontohkan penerapan hak recall di Amerika Serikat justru diberikan kepada rakyat. Dalih mereka, hak recall yang dimiliki partai politik melangkahi kedaulatan yang seharusnya ada di tangan rakyat.
Selanjutnya Universitas Khairun Ternate (Tim Pro) berhadapan dengan Universitas Andalas Padang (Tim Kontra), mengangkat tema “Ultra Petita Dalam Putusan MK”. Tim Pro berpendapat bahwa 'ultra petita' dalam putusan MK merupakan hal yang dibenarkan dalam undang-undang, dengan merujuk Pasal 24 UUD 1945 mengenai kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Namun pernyataan Tim Pro dibantah oleh Tim Kontra yang menyatakan hakim konstitusi adalah manusia biasa, suatu ketika bisa melakukan kesalahan menjatuhkan putusan. Karena itu hakim konstitusi tidak boleh memutus melebihi dil uar dari hal yang dituntut Pemohon.
Setelah melalui proses perdebatan yang cukup sengit, menarik, sekaligus intelektual, tim juri yang antara lain beranggotakan Saldi Isra, Fajrul Falaakh, Radian Salman, Zainal Arifin Muchtar, Baharudin Aritonang, Bambang Widjajanto dan lainnya memutuskan enam perguruan tinggi yang lolos ke putaran kedua yakni Universitas Sumatera Utara, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Diponegoro, Universitas Gajah Mada, Universitas Hasanudin dan Universitas Airlangga. Kriteria penilaian Tim Juri, yakni berdasarkan substansi, cara dan bahasa penyampaian peserta, serta kerjasama tim.
Babak Semifinal
Putaran kedua babak penyisihan “Debat Konstitusi Perguruan Tinggi Se-Indonesia” berlangsung pada Minggu (1/8) siang di gedung MK. Di antaranya Universitas Sumatera Utara (Tim Pro) berhadapan dengan Universitas Gajah Mada (Tim Kontra) dengan tema “Otonomi Khusus Dalam Wilayah NKRI”. Menurut Tim Pro, pembentukan otonomi khusus. merupakan keniscayaan mengoptimalisasi pembentukan organ-organ di daerah, sebagai katalisator, akselerasi peningkatan pembangunan dan kesejahteraan di daerah. Sedangkan Tim Kontra (UGM) mengatakan, Otonomi Khusus adalah otonomi yang esensinya berbeda dengan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam putaran kedua babak penyisihan, terjadi perdebatan seru lainnya antara Universitas Airlangga dengan Universitas Diponegoro, antara Universitas Sumatera Utara dengan Universitas Hasanuddin, dan lainnya. Setelah melalui penilaian dan penyaringan secara ketat, Dewan Juri akhirnya memutuskan empat perguruan tinggi yang lolos ke semifinal, yaitu Universitas Hasanuddin, Universitas Sumatera Utara, Universitas Diponegoro dan Universitas Airlangga.
Pada babak semifinal, Universitas Sumatera Utara (Tim Pro) berhadapan dengan Universitas Airlangga (Tim Kontra), tema yang diangkat adalah “Pengadilan Khusus Pemilu”. Tim Pro mendukung pengadilan khusus pemilu di bawah Mahkamah Konstitusi. “Dengan adanya pengadilan khusus pemilu, kita dapat melakukan efisiensi. Jadi ketika sengketa pemilu terjadi, maka kita dapat menyatakan pengadilan khusus sebagai tingkat pertama,” tegas peserta dari Tim Pro. Sebaliknya Tim Kontra (UNAIR) tidak sependapat perlu adanya pengadilan khusus pemilu di Indonesia. Dalihnya, lebih bijaksana agar meningkatkan kinerja KPU maupun Bawaslu untuk meminimalisir setiap pelanggaran.
Peserta lainnya yang tampil di semifinal adalah Universitas Diponegoro (Tim Pro) berhadapan dengan Universitas Hasanuddin (Tim Kontra). Tim Pro menganggap saat ini untuk memutus kasus pemilu harus berdiri di 'dua kaki' yakni di PTUN dan Pengadilan Negeri. Karena itulah diperlukan pengadilan khusus pemilu. Sedangkan menurut Tim Kontra, tak ada urgensi yang jelas untuk membentuk pengadilan khusus pemilu di Indonesia. Bahkan adanya pengadilan khusus pemilu akan meningkat anggaran biaya.
Alhasil setelah melalui proses penilaian, penyaringan, dan pertimbangan dari berbagai aspek, Dewan Juri memutuskan bahwa Universitas Airlangga dan Universitas Hasanuddin masuk final “Debat Konstitusi Perguruan Tinggi Se-Indonesia” pada Senin (2/8) yang akan direkam di Studio TV One Cawang. Sementara setelah melalui perdebatan yang seru dan menarik, pemenang ketiga diraih oleh Universitas Sumatera Utara, mengungguli Universitas Diponegoro. (Nano Tresna A.)