Jakarta, MK Online - Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah Kab. Bengkulu Selatan terus berlanjut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Bengkulu Selatan seakan tak pernah bosan menyelenggarakan Pemilukada. Sudah tiga kali menang, tetap saja pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Reskan Effendi dan Rohidin Mersyah belum ditetapkan menjadi orang nomor satu di Bengkulu Selatan.
Itulah yang tergambar dari sidang perkara nomor 100/PHPU.D-VIII/2010 dan 101/PHPU.D-VIII/2010 pada Selasa (27/7) di Ruang Sidang Pleno MKRI. Sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan ini dimohonkan oleh dua Pasangan Calon Pemiihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bengkulu Selatan. Mereka adalah Pasangan Calon Nomor Urut delapan, Reskan Effendi-Rohidin Mersyah (Pemohon nomor perkara 100, selanjutnya disebut Pemohon I) serta Pasangan Calon Nomor Urut tiga, Gusnan Mulyadi-Gunadi Yunir (pemohon nomor perkara 101, selanjutnya disebut Pemohon II).
Dalam paparannya, kuasa Pemohon I, Arteria Dahlan, mengungkapkan pokok-pokok permohonannya. Pada intinya, ia menjelaskan, KPU (Termohon) telah melakukan kesalahan dan menihilkan Keputusan MK atas terbitnya Berita Acara (BA) dan Surat Keputusan (SK) KPU Bengkulu Selatan tentang Penetapan Pemenang Pertama dan Pemenang Kedua dalam Pemilukada Bengkulu Selatan.
Menurut Arteria, terbitnya dua surat tersebut telah merugikan Pemohon I. Seharusnya, lanjut Arteria, KPU Bengkulu Selatan menetapkan Pemohon I sebagai Bupati dan Wakil Bupati Terpilih dalam Pemilukada Bengkulu Selatan 2010. Hal itu berdasarkan kepada Putusan MK yang memerintahkan pemungutan ulang dalam Pemilukada Bengkulu Selatan serta dokumen DD KWK yang dimiliki oleh KPU. Selain itu, menurutnya, KPU juga telah salah atau setidaknya kurang tepat dalam menuliskan ‘Pemilukada ulang’ dalam BA maupun SK, mestinya ‘pemungutan suara ulang’, karena dua istilah ini memiliki konsekuensi yang berbeda.
“KPU juga telah menjustifikasi atau melakukan pembenaran atas tindakannya itu karena seluruh pasangan dinyatakan belum memenuhi persyaratan sebagai pemenang sesuai Undang-Undang 12 tahun 2008, yakni harus terpenuhinya 30% perolehan suara dari suara sah, tanpa mempertimbangkan Keputusan MK nomor 57,” paparnya.
Padahal, sambung Arteria, dalam Putusan MK nomor 57/PHPU.D-VI/2008 itu, telah dinyatakan bahwa pemungutan ulang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, serta ditegaskan pemungutan suara ulang adalah satu rangkaian dari Pemilukada. Oleh karena itu, seharusnya, hasil pemungutan ulang tersebut adalah hasil akhir yang bersifat final dan mengikat. “Hasil pemungutan ulang itu, yang menyatakan kami (Pemohon I) sebagai pemenang adalah sah, final dan mengikat,” tegasnya.
“Telah dilakukan pemungutan untuk ketiga kalinya. Pada 16 Oktober 2008 pemungutan pertama, 6 November 2008 pemungutan kedua, kemudian pemungutan ulang setelah putusan MK dilakukan 3 Juli 2010, semuanya dimenangkan oleh kami (Pemohon I),” lanjutnya mengingatkan.
Atas kejadian itu, KPU Provinsi dan KPU Pusat sudah melakukan koordinasi, yang pada akhirnya menghasilkan sebuah rekomendasi berisi, beberapa diantaranya: penyelenggaraan Pemilukada pada tanggal 3 Juli 2010 adalah tidak tepat, pemungutan ulang merupakan rangkaian dari Pemilukada, serta meminta kepada KPU Bengkulu Selatan untuk mengkoreksi Surat Keputusan Bengkulu Selatan Nomor 28 Tahun 2010.
Sedangkan, Pemohon II, melalui kuasa hukumnya menyatakan, pada pokoknya keberatan terhadap SK KPU nomor 28 tahun 2010 tanggal 10 Juli 2010 tentang Penentapan Pemenang Pertama dan Pemenang Kedua Pemilukada Bengkulu Selatan 2010. Beberapa dalil yang dikemukakan oleh Pemohon adalah berkaitan dengan adanya pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan, digunakannya DPT baru dalam pemungutan ulang, serta terjadi beberapa praktik politik uang selama Pemilukada.
“Kami meminta kepada Mahkamah untuk mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut delapan dan pasangan nomor urut satu,” ujar salah satu kuasa hukum Pemohon II.
Terhadap dalil-dalil para Pemohon, Panel Hakim memberikan beberapa saran dan masukan agar permohonan diperbaiki. Beberapa diantaranya adalah terkait dengan posita, sistematika dan petitum permohonan. Menurut Panel, permhonan para Pemohon masih membingungkan dan tidak fokus.
“Untuk Pemohon perkara nomor 100, kalau mau dibatalkan, tapi minta ditetapkan sebagai pemenang. Terus pemenang ini dasarnya apa? Hindari asumsi atau pengandaian. Untuk permohonan perkara 101, kuasa hukum belum menggunakan struktur permohonan sesuai dengan kelaziman yang ada di MK,” Fadlil mengingatkan.
“Untuk perbaikan permohonan, diberikan waktu hingga Rabu, 28 Juli 2010 sesuai dengan jam kantor. Sidang berikutnya akan ditentukan MK. Untuk putusan paling lambat 10 Agustus 2010. Itu artinya, bisa diputus sebelum itu,” ungkap Harjono.
Panel Hakim dalam perkara ini terdiri dari Hakim Konstitusi Harjono selaku Ketua Panel, sedangkan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi masing-masing sebagai Anggota Panel. (Dodi)