Perwakilan Rektor BHMN Kunjungi MK
Rabu, 28 Juli 2010
| 19:37 WIB
Hakim Harjono sedang memberikan penjelasan mengenai UU BHP kepada tujuh rektor perguruan tinggi berstatus BHMN, Selasa (27/7), di Ruang Delegasi MK, Jakarta. Kunjungan ketujuh rektor tersebut diterima Ketua MK, Moh. Mahfud MD didampingi Panitera MK Zainal Arifin Hoesein.
Jakarta, MK Online - Perguruan tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) masih bisa terus berjalan sejauh tidak keluar dari prinsip-prinsip yang tercantum dalam Putusan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. Hal ini disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Moh. Mahfud MD ketika menerima kunjungan tujuh rektor perguruan tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Selasa (27/7), di Ruang Delegasi MK, Jakarta. Dalam kesempatan itu, Mahfud didampingi Hakim Konstitusi Harjono dan Panitera MK Zainal Arifin Hoesein menjelaskan mengenai implementasi Putusan MK yang membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tersebut. Tujuh rektor itu di antaranya dari IPB, ITB, UI, USU, UGM, UNAIR, dan UPI.
Mahfud menuturkan, dalam setiap vonisnya MK menekankan prinsip untuk tidak menimbulkan kontroversi, tetapi prinsip sesuai dengan konstitusi. Selain itu, tambah Mahfud, dengan adanya Putusan MK tidak menimbulkan kekosongan hukum. “Yang ditekankan MK dalam pembatalan UU BHP bahwa tidak boleh ada penyeragaman dan mengedepankan prinsip tanggung jawab negara. Negara mempunyai kewajiban, rakyat punya hak, sedangkan swasta mempunyai hak memajukan negara melalui kontribusinya dalam memajukan dunia pendidikan,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, hadir pula Hakim Konstitusi Harjono, salah satu hakim panel dalam perkara pengujian UU BHP. Harjono menjelaskan, UU BHP merupakan sarana bagi negara untuk menjalankan tugasnya, tetapi tidak untuk swasta karena UU BHP justru melanggar hak berserikat dan berkumpul bagi pihak swasta seperti yang dijamin dalam UUD 1945,” ujarnya.
Harjono menambahkan, penyeragaman seperti dimaksudkan dalam UU BHP tidak memungkinkan diberlakukan ke seluruh Indonesia. “Untuk perguruan tinggi besar mungkin hal itu memungkinkan, tetapi bagaimana dengan perguruan tinggi di daerah-daerah lainnya? Itu salah satu faktor yang diperhatikan MK dalam Putusan MK. Oleh karena itu, MK memberi waktu 6 tahun,” paparnya.
Rektor Institut Pertanian Bogor, Herry Suhardiyanto, memaparkan kegalauan para rektor perguruan tinggi berstatus hukum BHMN karena Putusan MK yang membatalkan UU BHP. “Kegalauan kami karena di luar timbul dua penafsiran berbeda dari Putusan MK. Padahal status BHMN sudah dipandang sebagai model transformasi birokrasi di perguruan tinggi. Belum lagi ada pandangan agar BHMN ditarik kembali. Oleh karena itu, kami meminta kejelasan tafsir Putusan MK dari MK langsung. Akan tetapi penjelasan dari Ketua MK Moh. Mahfud MD dan Hakim Konstitusi Harjono kami menjadi jelas,” pungkas Herry. (Lulu Anjarsari/Koen)