Jakarta, MK Online - Di berbagai negara, tidak ada undang-undang yang membatasi waktu judicial review, bahkan ada negara yang baru mengeluarkan putusan setelah perkara berjalan selama dua sampai tiga tahun. “Dalam praktiknya, memang tidak mudah menentukan waktu pengujian undang-undang. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pun tidak membatasi waktu pengujian undang-undang,” ujar Hakim Konstitusi H.M. Akil Mochtar saat menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswa FH STIH Sultan Adam, Banjarmasin yang berkunjung ke MK pada Senin (26/7) pagi.
Dijelaskan Akil lagi, judicial review dapat dilakukan terhadap ayat, frase, pasal maupun seluruh undang-undang. Selain itu judicial review terbagi menjadi dua yaitu uji materi (materiil) dan uji prosedur (formil). Pengujian undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat, pasal dan atau bagian dari undang-undang terhadap UUD.
“Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD,” ungkap Akil yang didampingi moderator Masdari Taslim selaku Ketua STIH Sultan Adam, Banjarmasin.
Sedangkan pengujian undang-undang secara formil, lanjut Akil, adalah menguji pembentukan undang-undang apakah sudah sesuai dengan proses pembentukan yang telah diatur dalam UUD. Perbedaan antara keduanya terletak pada obyek pengujiannnya.
“Dalam pengujian secara materiil obyek yang diuji adalah materi muatan yang ada dalam undang-undang. Sedangkan obyek pengujian secara formil adalah proses pembentukan undang-undang. Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu UUD,” imbuh Akil di hadapan para mahasiswa.
Dalam kesempatan itu Akil menjelaskan pula bahwa tujuan tertinggi dari konstitusi adalah keadilan (justice), ketertiban (order), perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan dan kebebasan (freedom), kemakmuran dan kesejahteraan (prosperity and welfare) bersama atau sebagaimana diwujudkan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the founding leaders) atau para perumus UUD.
Diungkapkan Akil, demokrasi yang diidealkan harus diletakkan dalam koridor hukum. Tanpa hukum, demokrasi justru dapat berkembang ke arah yang keliru karena hukum dapat ditafsirkan secara sepihak oleh penguasaan atas nama demokrasi.
“Karena itulah berkembang konsepsi mengenai demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang lazim dipakai dalam perbincangan mengenai konsep modern tentang ‘constitutional state’ yang dianggap ideal pada masa sekarang,” tandas Akil.
Bersamaan dengan perkembangan pemikiran tentang negara demokrasi, ungkap Akil, sejarah pemikiran kenegaraan juga mengembangkan gagasan mengenai negara hukum yang terkait dengan gagasan kedaulatan hukum (nomokrasi). Dalam istilah yang kemudian dikenal sebagai “the rule of law, and not of man”.
“Pemerintahan oleh hukum, bukan manusia. Artinya, pemimpin negara yang sesungguhnya bukanlah orang, tetapi sistem aturan yang harus dijadikan pegangan oleh siapa saja yang kebetulan menduduki jabatan kepemimpinan. Inilah hakekat pengertian kedaulatan hukum atau ‘rechstaat’ menurut tradisi Eropa Continental,” pungkas Akil. (Nano Tresna A/Koen)