Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi merupakan “energi baru” penegakan hukum di Indonesia. Banyak putusan-putusan MK yang memberikan terobosan-terobosan hukum. Terobosan ini telah berkontribusi besar dalam hal penegakan hukum maupun pemenuhan prinsip-prinsip demokrasi di Indoensia.
Hal tersebut seperti dikatakan oleh Staf Khusus Ketua MK, Fadjar Laksono, dalam paparannya ketika menerima kunjungan dari Asian Law Students Association (ALSA) Indonesia pada Kamis (22/7) siang. Adapun kunjungan itu diselenggarakan dalam rangka Seminar dan Workshop Nasional ALSA 2010.
Selain itu, Fadjar juga menjelaskan beberapa hal tentang MK. Salah satunya berkaitan dengan latar belakang terbentuknya MK. Menurutnya, MK dibentuk sedikitnya berdasarkan dua pertimbangan, yakni pertama, banyaknya Undang-Undang yang melanggar hak konstitusional warga negara, dan kedua, terkait berhenti atau jatuhnya seorang Presiden dari tampuk kekuasaan, saat Orde Lama maupun Orde Baru, yang tidak berdasarkan pada pertimbangan hukum.
“Beberapa presiden jatuh tanpa pertimbangan hukum. Sebagai contoh, yang paling dekat, yakni jatuhnya, atau lebih tepatnya, dijatuhkannya Gus Dur sebagai Presiden. Hal itu lebih dikarenakan aspek politik saja. Padahal sebagai negara hukum seharusnya hukum menjadi salah satu dasar pertimbangan untuk meng-impeach presiden. Oleh karena itu, perlu ada lembaga baru yang memberikan pertimbangan hukum sebelum Presiden dimakzulkan (impeachment). Khususnya dalam konteks presidensil seperti di Indonesia,” ujarnya.
Selanjutnya, ia juga menyinggung tentang paradigma berpikir yang melandasi putusan-putusan MK. Menurutnya, MK dalam memberikan putusan tidak hanya terpaku pada teks-teks dalam perundang-undangan saja. Bukan paradigma yang normatif an sich tanpa interpretasi. Namun, MK lebih menggunakan cara-cara ‘progresif’ dalam mewujudkan keadilan yang substantif.
“MK lebih cenderung pada paradigma hukum progresif demi menemukan keadilan substantif. Artinya, dalam memutus, MK tidak terbelenggu oleh teks-teks dalam pasal di undang-undang saja. Tentu saja, dengan catatan jika bunyi pasal-pasal dalam perundang-undangan tersebut tidak bisa menghadirkan keadilan substantif. Maka MK akan mencari keadilannya sendiri,” tegasnya.
Hal tersebut, lanjut Fadjar, didukung pula dengan independensi yang dimiliki oleh para Hakim MK. “Ketika akan memberikan putusan, maka dibahas terlebih dahulu dalam Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH). Pada rapat itu, para hakim akan saling ‘berdebat’ dan berargumentasi terkait dengan perkara yang akan diputus. Hakim dibebaskan untuk mengemukakan pendapatnya. Bahkan, jika ada hakim yang berbeda pendapat dengan putusan akhir, maka diperkenankan untuk disenting opinion, yang akan disertakan menjadi satu kesatuan dalam putusan,” tuturnya.
Akhirnya, setelah pertemuan tersebut, rombongan yang terdiri dari 12 universitas itu menyambangi ruang-ruang persidangan dan beberapa spot menarik yang ada di gedung MK. (Dodi/Koen)