Jakarta, MK Online - Dalam memutuskan sebuah perkara, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak lagi membatasi diri pada pikiran-pikiran positif maupun aturan formal, namun juga pada keadilan substantif atau keadilan yang mendekati kebenaran.
“Memang agak drastis MK meninggalkan asas formal dan menerobos barikade-barikade formal untuk menuju keadilan substanstif,” ungkap Wakil Ketua MK, Achmad Sodiki di hadapan para mahasiswa FKIP Program PPKN Universitas Kanjuruhan, Malang yang berkunjung ke MK pada Senin (19/7) siang.
Dalam kesempatan itu, Achmad Sodiki memaparkan latar belakang MK membuat sejumlah terobosan dan melaksanakan keadilan substantif. Dijelaskannya, kalau putusan hanya terbatas pada norma, maka hasilnya tidak akan memuaskan.
“Oleh sebab itu, karena putusan MK final dan binding, hal itu menjadi rujukan serta landasan ketentuan undang-undang yang akan diuji. Misalnya, ada calon pasangan pemilukada berbuat curang melakukan politik uang, intimidasi dan sebagainya, menurut ketentuan UU, maka MK hanya bisa memutus angka hasil pemilukada,” ucap Sodiki yang didampingi moderator Suciati selaku Ketua Program Studi PPKN Universitas Kanjuruhan, Malang.
Namun, lanjut Sodiki, MK berpendapat bahwa kalau hanya memutus masalah angka hasil pemilukada, maka tidak perlu ke MK. Logikanya, sesuatu yang dilakukan melalui proses yang jujur akan menghasilkan sesuatu yang benar. Alhasil MK menyoroti masalah ‘proses’, bukan sekadar ‘hasil’.
“Kita tidak sampai hati memutus sebuah perkara yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak terhormat. Maka keluarlah satu asas yang bunyinya begini, ‘seseorang tidak boleh mendapatkan sesuatu, memperoleh kemanfaatan dari perbuatan yang salah’. Artinya, siapa saja yang melakukan perbuatan salah, tidak boleh memberi manfaat dan mestinya harus dihukum,” papar Sodiki. Berdasarkan latar belakang dan landasan berpikir seperti itulah, ujar Sodiki, dijalankan pendekatan keadilan substantif.
Lebih jauh Sodiki menguraikan tiga tahap yang dilakukan hakim konstitusi dalam sidang MK. Tahap pertama dihadiri tiga hakim melalui Sidang Panel, tugas hakim adalah memberi saran apabila permohonan Pemohon ada kekurangan, kelemahan, maupun argumentasi yang kurang kuat, antara posita dan petitum Pemohon tidak sinkron, tidak runtut sehingga perlu diperbaiki.
Tahap kedua, dilakukan sidang pembuktian dan pemeriksaan para saksi. Misalnya mengundang pihak Pemerintah, para Ahli, saksi-saksi yang melihat langsung sebuah kejadian seperti pemilukada dan lainnya. Menurut Sodiki, kehadiran para Ahli akan menjelaskan sebuah permasalahan secara ilmiah, dipaparkan teori, filsafat dan lainnya, seolah seperti melangsungkan seminar dan tidak terasa sebagai sebuah pengadilan tata negara.
“Sedangkan pada tahap ketiga, barulah dilakukan Sidang Pleno, sebagian besar hakim konstitusi hadir untuk melaksanakan putusan sebuah perkara,” jelas Sodiki.
Hal lain yang tak kalah penting, Sodiki menerangkan secara umum mengenai wewenang dan kewajiban MK, mulai dari menguji UU terhadap UUD, membubarkan partai politik, memutus sengketa pemilu termasuk pemilukada, memutus sengketa antara lembaga negara, ditambah lagi kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana berat lainnya. (Nano Tresna A/Koen)