Jakarta, MK Online - Sidang uji materi UU 13/2006 tentang Prlindungan Saksi dan Korban yang dimohonkan Susno Duaji kembali disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (16/07) di ruang sidang panel MK, Jakarta.
Dalam sidang perbaikan permohonan ini, Maskur Ismail selaku kuasa hukum Susno menjelaskan pertentangan pasal yang diuji yakni Pasal 10 ayat (2) UU 13/2006 dengan UUD 1945. Menurutnya, perlindungan terhadap saksi dan dan pelapor terkait tindak pidana korupsi harus diberikan.
”Salah satu saksi ataupun ahli dalam tindak pidana korupsi harus dilindungi negara. Dalam beberapa contoh di Amerika Serikat, Inggris, Afrika Selatan, saksi dan pelapor diberikan perlindungan dari ancaman pidana maupun ancaman pelanggaran disiplin antara lain penurunan pangkat dan jabatan,” terangnya kepada Majelis Hakim Panel.
Dengan demikian, telah terjadi hambatan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses hukum. Hal ini kata Maskur berpotensi merugikan masyarakat terutama Pemohon uji materi ini dari rasa aman baik sebagai saksi dan pelapor kejahata, karena dapat dijadikan pelaku kejahatan yang dilaporkan sehingga dapat dipidanakan.
Pemohon permohonan ini, yakni Susno Duaji sebagai pelapor sejumlah dugaan korupsi jenderal dan perwira di Mabes Polri, tandas Maskur mendapatkan intimidasi, tidak diberikan kebebasan hak untuk berbicara dan hak untuk bertemu dengan keluarganya.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK mengeluarkan putusan provisi untuk menunda berlakunya pasal 10 ayat (2) yang saat ini diuji materikan sampai adanya putusan akhir dari MK. Hal ini penting agar terlaksananya jaminan keadilan dan rasa aman karena Pemohon selaku pelapor tindak pidana korupsi selalu dalam tekanan. Selain, itu Pemohon juga meminta MK memberhentikan proses pemidanaan Pemohon dan kemudian memerintahkan Polri untuk membebaskan Pemohon.
Saksi Tidak Bisa Jadi Tersangka
Seperti kita ketahui bahwa pada sidang yang pertama, jum’at (25/6), kuasa hukum Pemohon menerangkan Pemohon merasa haknya dirugikan atas berlakunya Pasal 10 ayat (2) UU 13/2006 ini karena penyidik Polri telah melakukan penangkapan, penahanan, dan penyidikan sebagai tersangka terhadap Pemohon.
Ketentuan Pasal tersebut menurut Pemohon telah membuka peluang bagi Penyidik Polri untuk melakukan intervensi terhadap kewenangan LPSK tanpa kontrol dari cabang kekuasaan Yudikatif karena penetapan seorang saksi menjadi tersangka dan kemudian melakukan penahanan dapat dilakukan secara sepihak oleh penyidik tanpa mempertimbangkan adanya kewenangan lembaga lain yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap Saksi dalam perkara pidana. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) ini juga berpotensi melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap Hak Azasi Manusia, dalam hal ini, hak asasi saksi dan korban.
Oleh sebab itu, pemohon juga memohonkan agar MK dapat memberikan Tafsir konstitusional terhadap Pasal 10 ayat (2) UU 13/2006 dengan pengertian bahwa seorang saksi yang menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan tersebut harus dimaknai bahwa kedudukan sebagai tersangka ditetapkan terlebih dahulu sebelum saksi tersebut memberikan kesaksian dalam perkara tersebut seperti terjadi pada Pemohon sehingga Pasal 10 ayat 2 tidak dapat diterapkan terhadap Pemohon. Status kedudukan Pemohon awalnya sebagai saksi yang melaporkan, namun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. (RN Bayu Aji)