Sukses yang ditorehkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), khususnya menyangkut kewenangannya dalam proses penanganan perkara-perkara pemilihan umum (pemilu), berhasil menggiring lembaga itu sebagai institusi panutan berbagai negara.
Setidaknya, gambaran itu dapat dideteksi dari dua hal. Pertama, keterpilihan institusi pengawal konstitusi itu sebagai tuan rumah dalam pembentukan asosiasi MK se-Asia.
Kedua, pertama kalinya dalam sejarah, MK menjadi tuan rumah penyelenggaraan konferensi VII hakim MK se-Asia.
Pendeklarasian asosiasi MK se-Asia telah berlangsung pada 12 Juli kemarin yang diikuti oleh perwakilan dari MK Republik Indonesia, MK Korea, MK Thailand, MK Mongolia, MK Uzbekistan, dan Mahkamah Agung (MA) Filipina.
Konferensi VII hakim MK se-Asia kali ini dihadiri perwakilan dari 26 negara yang diperkirakan akan membahas agenda khusus menyangkut perkembangan hukum pemilu.
Konferensi paling bergengsi bagi para hakim MK itu tentu menjadi momen tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menunjukkan kiprah dan kemampuan MK dalam menuntaskan problem konstitusional yang selama masa Orde Baru mengalami kebuntuan.
Kontribusi Signifikan
Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, fakta menunjukkan bahwa MK cukup memberikan kontribusi signifikan dalam mengawal hak-hak konstitusional warga negara yang selama rezim pemerintahan otoriter Orde Baru tidak pernah mendapat ruang yang cukup dalam proses penuntasannya.
Namun dalam usia yang baru mendekati tujuh tahun, institusi yang dibidani amendemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 itu seolah-olah berhasil menutupi lubanglubang kesalahan masa lalu, khususnya menyangkut perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara.
Sebenarnya, rekomendasi dari Pasal 24C UUD 1945 yang kemudian ditindaklanjuti dengan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan secara eksplisit bahwa MK memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Di samping itu, MK dirias sedemikian rupa dengan kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/ atau wakil presiden menurut UUD.
Dalam perkembangan berikutnya, perkara yang membanjiri MK selama ini adalah menyangkut proses uji materi UU terhadap UUD 1945.
Namun, seiring dengan maraknya pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Tanah Air, melalui revisi kedua atas UU No 32 Tahun 2004 yang kemudian telah berubah wujud menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008, sengketa pilkada pun digeser menuju ranah MK.
Melalui Pasal 239A UU Nomor 12 Tahun 2008, kewenangan penanganan sengketa hasil pilkada yang sebelumnya menjadi domain MA dialihkan ke MK.
Dan sampai saat ini, MK telah dibanjiri kasus-kasus sengketa pilkada di samping kasus uji materi yang tidak kalah produktifnya.
Optimalisasi Kendati sudah banyak menorehkan prestasi gemilang dalam mengemban amanah konstitusi, dari analisis penulis, kewenangan MK masih harus diramu menuju proses sinkronisasi.
Hal itu perlu dipikirkan dalam rangka optimalisasi suksesi yang telah ditorehkan MK, apalagi mengingat pengakuan MK berbagai negara yang ditunjukkan dengan pengangkatan MKRI sebagai tuan rumah dan tempat untuk saling tukar informasi bagi para hakim MK se-Asia.
Setidaknya ada dua hal yang masih harus dikaji menyangkut eksistensi MK ke depan. Pertama, menyangkut kewenangan penanganan sengketa pemilukada.
Sampai saat ini, proses penanganan sengketa pemilukada masih diwarnai dengan kekosongan hukum yang barangkali luput dari antisipasi para pembuat regulasi selama ini.
Kekosongan hukum dimaksud adalah proses penyelesaian sengketa sebelum digelarnya pemilukada, khususnya sebelum proses penetapan calon kepala daerah oleh KPU Daerah.
Kalau sengketa yang muncul terjadi setelah penetapan calon kepala daerah atau setelah digelarnya pemilukada, menjadi domain MK untuk menuntaskannya. Namun dalam perkembangannya, ada banyak persoalan yang muncul sebelum hajatan pemilukada digelar.
Hal itu umumnya ditengarai karena ketidakprofesionalan KPU dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Terlepas dari pergolakan politik yang timbul sebagai implikasi buruk dari ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu, persoalan itu akan sangat rentan untuk menghilangkan hak konstitusional warga negara, baik pemilih aktif maupun pemilih pasif.
Ketika Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak valid alias amburadul, dapat dipastikan bahwa akan banyak konstituen yang kehilangan hak pilihnya.
Demikian juga ketika penyelenggara pemilu tidak mampu membentengi independensinya dalam memverifikasi para kandidat yang maju dalam pemilu.
Maka, tidak tertutup kemungkinan hak konstitusional seseorang untuk maju sebagai peserta pemilu akan kandas di tengah jalan.
Di sini menjadi sangat urgen untuk menggemukkan kewenangan MK dalam menuntaskan persoalan ini. Persoalan kedua adalah menyangkut proses uji materi yang masih berada dalam dua atap.
Untuk uji materi UU ke UUD, menjadi ranahnya MK, sedangkan untuk uji materi UU dengan peraturan di bawahnya dianugerahkan ke MA. Proses uji materi yang demikian jelas akan sarat dengan persoalan hukum.
Proses penentuan calon legislatif terpilih pada pemilihan legislatif 2008 lalu telah menjadi pengalaman buruk bangsa ini dalam menerapkan sistem uji materi dua atap.
Di satu sisi, MA membatalkan sistem penentuan caleg terpilih yang telah dijalankan KPU, namun dalam tempo yang tidak lama, MK justru menyatakan bahwa ketentuan UU yang menjadi sandaran putusan MA kala itu dinyatakan inkonstitusional.
Sebagai implikasinya, putusan MA ketika itu menjadi kehilangan dasar hukum dan tidak mampu berkontribusi dalam ranah hukum.
Dua persoalan itu setidaknya perlu menjadi bahan refl eksi dalam rangka mendesain ulang kewenangan MK ke depan.
Sehingga apa yang dikagumi oleh para hakim MK se-Asia pada saat konferensi VII sekaligus pembentukan asosiasi MK se-Asia terkait sukses yang sudah ditorehkan MKRI akan membawa makna ganda.
MK sebagai garda terdepan dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara harus tetap dijaga keutuhan eksistensinya.
Mulai dari memberikan perangkat kewenangan melalui regulasi formal hingga pada peningkatan kredibilitas dan profesionalitas sembilan pendekar konstitusi itu, Semoga.( Janpatar Simamora )
Koran-Jakarta.com | Sabtu, 17 Juli 2010