Jakarta, MK Online - Pada sesi pertama Konferensi Ke-7 Mahkamah Konstitusi (MK) se-Asia (Conference of Asian Court Contitusional Judges atau CACCJ) dibuka dengan pengenalan berbagai konsep mengenai sistem pemilihan pmum (pemilu) dari beberapa negara, Selasa (13/7), di Hotel Ritz Carlton, Jakarta. Pada bagian pertama dari sesi ini, tampil sebagai pembicara adalah Hakim Konstitusi Korea Dong Heub Lee, Hakim Mahkamah Federal Malaysia Tun Zaki Tun Azmi, dan Hakim Konstitusi Thailand Chalermpon Ake-Uru. Sedangkan bertindak sebagai panelis, yakni Hakim Konstitusi Chile Jose Antonio Viera-Gallo Quesney, Hakim Pengadilan Banding Timor Leste Claudio Ximenes, dan Hakim Mahkamah Agung Srilanka Pemamiththa Abraham Ratnayake.
Dalam sesi yang dimoderatori oleh Hakim Konstitusi Harjono ini, Dong Heub Lee menyampaikan mengenai perlu adanya keseimbangan antara kebebasan dan pembatasan dalam pelaksanaan pemilu untuk mewujudkan sistem pemilu yang tepat dan efektif dalam menjalankan demokrasi. "Even so, the balance between freedom of election and its restriction should also be reasonably tuned depending on the country level of political and social development, the maturity of citizens civic consciousness, the past and present election culture and other economic and cultural conditions," papar Lee.
Selain itu, Lee memaparkan mengenai kewenangan MK Korea. Menurut Lee, MK Korea banyak menerima pengajuan mengenai pengujian undang-undang (judicial review) serta keberatan konstitusional (constitutional complaint) terkait dengan pemilu. Oleh karena itu, sambung Lee, bidang hukum pemilu menjadi salah satu wewenang yang paling aktif dijalankan oleh MK Korea sejak dibentuk pada 1988. "The Contitutional Court of Korea, in principle, has maintained strict standard of review with respect to the freedom of election, but in the same time, equally paid attention to the issue of the fairness in elections," jelasnya.
Lain halnya dengan Lee, Hakim Mahkamah Federal Malaysia Tun Zaki Tun Azmi mengungkapkan sistem pemilu yang berlaku di Malaysia sebagai model websminster dengan menganut prinsip supremasi konstitusi. Tun Zaki mengungkapkan Mahkamah Federal Malaysia menjadi tempat terakhir untuk menyelesaikan sengketa mengenai pemilu. "I am proud to say that the judiciary had over the years played an important role as a final arbitrer over many dispute relating to the election," ujarnya.
Sedangkan pada bagian kedua sesi pertama ini, pembicara yang tampil adalah Hakim Konstitusi Mongolia Jamsran Byambadorj, Hakim Mahkamah Agung Filipina Jose Portugal Perez yang dimoderatori oleh Hikmahanto Juwana. Bertindak sebagai panelis dalam bagian kedua ini adalah Sekretaris Jenderal MK Azerbaijan Raouf Guliyef, Hakim Mahkamah Agung Brunei Darussalam Dato Seri Paduka Hj. Kafrawi dan Wakil Ketua Mahkamah Agung Singapura Chao Hick Tin.
Jamsran mengungkapkan masalah yang sering timbul dalam pemilu di Mongolia adalah kecurangan dalam bentuk pemilihan lebih dari satu kali akibat lemahnya sistem pendaftaran penduduk. Jamsran menambahkan, pelanggaran-pelanggaran pemilu tersebut akan ditangani oleh Pengadilan Tinggi sebelum dibawa ke Mahkamah Konstitusi Mongolia. "Such violations should be proven in ordinary court before being discussed by the Constitutional Court. To do so, the court needs to be provided with an oppurtinity to reveiew all processes and documents related to the election. It shuld be noted that, although the court should have this right, the current Election Law generally precludes this right," jelasnya.
Pada esok hari (14/7) akan diselenggarakan Sesi Kedua yang menghadirkan pembicara dari Maroko, Jerman, Kolombia, Uzbekistan, Kamboja, Meksiko dan Venezuela. (Lulu Anjarsari/Koen)