Jakarta, MK Online - Permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah Kabupaten Bima yang diajukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3 Zainul Arifin-Usman A.K. ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian amar putusan ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD beserta sembilan Hakim Konstitusi, Kamis (8/7), di Gedung MK.
Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menjelaskan bahwa Pemohon mendalilkan perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 diperoleh melalui berbagai kecurangan yang dilakukan oleh Termohon dan Pasangan Calon Nomor Urut 1 dengan cara merekrut anggota PPK, PPS, dan KPPS dari kalangan Pegawai Negeri Sipil sehingga mudah dikendalikan oleh Termohon maupun Pasangan Calon Nomor Urut 1 sebagai calon kepala daerah incumbent. Berdasarkan Bukti Surat dan Saksi Pemohon, lanjut Sodiki, Mahkamah menilai bukti dan keterangan saksi tersebut tidak dapat meyakinkan Mahkamah bahwa perekrutan petugas penyelenggara pemilukada yang dilakukan oleh Termohon dengan melibatkan PNS dilakukan dengan cara yang tidak transparan, selain itu tidak ada larangan bagi PNS untuk menjadi PPS atau KPPS. “Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak terbukti,” jelasnya.
Selain itu, papar Sodiki, Pemohon mendalilkan Termohon sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar kepada Pemohon mengenai surat suara sah dan surat suara tidak sah. Pada tanggal 30 Mei 2010, Termohon menyatakan kepada Pemohon bahwa surat suara yang dicoblos tembus adalah batal berdasarkan Pasal 95 UU 32/2004 juncto Pasal 82 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan Pasal 27 Peraturan KPU Nomor 72 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Tempat Pemungutan Suara. Sedangkan, kepada Pasangan Calon Nomor Urut 1, Termohon mengatakan bahwa coblos tembus adalah sah berdasar Surat KPU Nomor 313/KPU/V/2010, bertanggal 25 Mei 2010. Mengenai hal ini, urai Sodiki, Mahkamah berpendapat bahwa penghitungan ulang terhadap surat suara yang coblos tembus adalah solusi untuk menentukan penghitungan suara yang benar. “Dengan mempertimbankan keterangan yang disampaikan oleh para saksi, ternyata surat suara coblos tembus tidak hanya terkumpul pada satu pasangan calon saja, dan jumlahnya tidak cukup signifikan. Sehingga, apabila dilakukan penghitungan ulang terhadap surat suara yang coblos tembus, tidak akan mengubah peringkat perolehan suara masing-masing pasangan calon,” jelasnya.
Pemohon mendalilkan Termohon sengaja memberikan kesempatan pada 685 Pemilih yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk memberikan hak pilih pada berbagai TPS yang ada di Kabupaten Bima, sehingga menguntungkan Pasangan Calon Nomor Urut 1. Hakim Konstitusi Harjono menuturkan berdasarkan fakta di persidangan, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa penambahan 685 pemilih menguntungkan Pasangan Calon Nomor Urut 1, adalah asumsi belaka yang tidak didukung bukti yang kuat. Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa penambahan sebanyak 685 pemilih tersebut menguntungkan salah satu pasangan calon. “Apalagi penambahan DPT sebanyak 685 pemilih tersebut, menurut keterangan Saksi Pihak Terkait Mahfud, yang tidak dibantah oleh Pemohon; serta menurut isi kliping berita Harian Pagi Bimeks, edisi Senin, 7 Juni 2010, dihadiri oleh saksi Pemohon, yaitu Bahraen. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak terbukti,” ujarnya.
Dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah berkesimpulan Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak beralasan hukum serta permohonan Pemohon tidak terbukti. (Lulu Anjarsari)