Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) bekerjasama dengan Komisi Yudisial (MK) menyelenggarakan kuliah umum bertema “Peran Komisi Yudisial dan Harapan Masyarakat tentang Peradilan Bersih” pada Senin (5/7) pagi di ruang perpustakaan MK. Pada kesempatan itu hadir dua pembicara yakni Dr. Wim Voermans Guru Besar Tata Negara dan Administrasi Negara Leiden University, Prof. Dr. H. Mustafa Abdullah, S.H. sebagai anggota KY didampingi moderator Binziat Khadafi.
Kuliah umum itu disiarkan langsung ke 39 perguruan tinggi seluruh Indonesia melalui fasilitas video conference, antara lain ke UNHAS Makassar, UNSRAT Manado, UNAIR Surabaya, UNSOED Purwokerto, dan lain-lain.
“Saya merasa senang dapat memberikan kuliah pada pagi ini. Hal ini menjadi suatu kehormatan saya untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi para mahasiswa,” ujar Dr. Wim Voermans pakar hukum tata negara asal Belanda.
Di awal pembicaraan, Wim mengungkapkan perbandingan Komisi Yudisial di beberapa negara. Menurut Wim, ada 3 jenis yang mendasari Komisi Yudisial di Eropa. Pertama, model KY Eropa Utara yang diterapkan di Swedia, Denmark, Belanda dan sebagainya. Kedua, model KY Eropa Selatan yang diterapkan di Italia, Portugal, Spanyol, dan lainnya. Sedangkan yang ketiga adalah model gabungan KY Eropa Utara dan Eropa Selatan. Bagaimana dengan KY di Indonesia? Dikatakan Wim, Indonesia termasuk dalam kategori KY model Eropa Selatan.
Lebih lanjut Wim juga menuturkan adanya booming eksistensi Komisi Yudisial di sejumlah negara terutama Eropa dalam 10 tahun terakhir. Ia menjelaskan, pada tahun 90-an di dunia ini baru ada 8 Komisi Yudisial. “Tapi sekarang jumlah Komisi Yudisial di berbagai negara semakin bertambah. Termasuk dibentuknya Komisi Yudisial di Indonesia,” ucap Wim.
Keberadaan Komisi Yudisial di Indonesia, lanjut Wim, tercantum dalam Pasal 24B UUD 1945 yang menyebutkan “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.”
Sementara itu pembicara lainnya, Prof. Dr. H. Mustafa Abdullah, S.H. menjelaskan bahwa Komisi Yudisial di Indonesia lahir pada era reformasi, saat amandemen ketiga UUD 1945. Kehadiran Komisi Yudisial, ungkap Mustafa, merupakan konsekuensi politik yang bertujuan membangun keseimbangan (checks & balances) dalam penegakan hukum.
Selain itu Mustafa juga menerangkan 3 cara menyeleksi hakim agung, yakni dengan melihat aspek kualitas, kesehatan dan kepribadian. Usai sesi dua pembicara itu, acara dilanjutkan tanya jawab antara pembicara dengan sejumlah dosen, mahasiswa dari berbagai kampus melalui fasilitas video conference. (Nano Tresna A.)