Jakarta, MK Online - Sebanyak 38 mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (30/6) siang. Kedatangan mereka diterima langsung oleh Fajar Laksono Soeroso selaku Staf Ketua MK. Tujuan kedatangan mereka ingin mengenal lebih dekat MK, antara lain mengenai wewenang MK, proses berperkara, suasana sidang maupun ruang perpustakaan MK.
“Belakangan Mahkamah Konstitusi sedang sibuk menangani berbagai perkara sengketa pemilukada sejak pagi hingga malam,” ungkap Fajar Laksono Soeroso di hadapan para mahasiswa yang hadir.
Membuka topik utama “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”, Fajar menjelaskan MK merupakan salah satu lembaga negara yang lahir dari reformasi konstitusi (1999-2002) yang sebelumnya didahului oleh reformasi politik 1998 di Indonesia.
“Salah satu agenda reformasi politik 1998 adalah reformasi konstitusi dalam proses amandemen UUD 1945. Karena itu, tak ada reformasi politik tanpa reformasi konstitusi,” imbuh Fajar.
Dikatakan Fajar pula, setelah proses perubahan atau amandemen UUD 1945, banyak perubahan yang dihasilkan. Misalnya masalah relasi antar lembaga negara. Sebelum amandemen UUD 1945, MPR adalah lembaga tertinggi negara dan di bawahnya ada DPR, Presiden, MA, BPK, DPD, dan lainnya. Selain itu dahulu Presiden adalah mandataris MPR, Presiden bertanggungjawab pada MPR. Namun sekarang Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR.
“Maka setelah UUD 1945 diamandemen, semua lembaga berada pada posisi yang setara, sejajar, seimbang, tidak ada satu lembaga yang mendominasi serta menerapkan asas separation of power,” ujar Fajar.
Seiring terjadinya amandemen UUD 1945 itu, pada 13 Agustus 2003 dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Latar belakangnya, antara lain, banyak UU yang bermasalah namun tidak terdapat mekanisme constitutional review. Penyebab lainnya, terjadinya pemakzulan Presiden hanya dengan alasan politik.
“Di samping itu, sering terjadi konflik antara lembaga negara atau lembaga pemerintahan yang hanya diselesaikan di bawah kewibawaan Presiden juga merupakan latar belakang dibentuknya MKRI,” jelas Fajar.
Hal lainnya yang menjadi latar belakang dibentuknya MKRI, lanjut Fajar, tidak terdapat forum penyelesaian sengketa hasil pemilu yang jelas maupun pembubaran partai politik melalui Mahkamah Agung (MA) dengan mekanisme yang juga tidak terlalu jelas. (Nano Tresna A)