Jakarta, MK Online - Sidang pengujian UU 8/1981 tentang KUHP dan UU 7/1974 tentang Penertiban Perjudian memasuki agenda mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli Pemohon, Rabu (23/6/2010). Pada sidang pendahuluan, Suyud dan Liem Dat Kui sebagai Pemohon, menganggap UU ini merugikan mereka sebagai etnis Tionghoa yang menganggap judi adalah bagian dari tradisi.
Dengan diketuai Moh. Mahfud MD, Pleno Hakim beranggotakan lengkap semua hakim konstitusi. Sementara itu, Pemohon didampingi Farhat Abbas, Rakhmat Jaya, dan Muh Burhanuddin sebagai kuasa hukumnya. Pemohon menghadirkan Endah, Rachmat, Erdin Odang, dan Priyo Agus Tantowi sebagai Saksi. Lalu, Ahli yang dihadirkan adalah OC Kaligis, Aziz Syamsuddin, dan Djoko Edi Abdurrahman (mantan anggota DPR RI).
“Inti permohonan adalah pelarangan terhadap tindak pidana perjudian yang dianggap kejahatan,” jelas Farhat Abbas dalam persidangan. Farhat menuturkan, Pemohon merasa sebagai korban karena pernah dipenjarakan gara-gara UU ini. Sementara itu, Pihak Pemerintah menganggap apa yang dialami Pemohon semata-mata adalah bagian dari proses hukum dan law enforcement (penegakan hukum). “Pemohon saat itu diberikan hak dan kesempatan yang sama, juga didampingi kuasa hukum. Menurut Pemerintah, yang terjadi pada Pemohon tidaklah terkait dengan konstitusionalitas UU yang sedang diujikan.
Dalam persidangan, Endah, saksi Pemohon yang juga anak Pak Suyud, mengungkapkan kekagetannya dengan penahanan bapaknya. “Ketika mendengar bapak ditangkap, saya kaget. Bapak hanya bekerja di pasar sebagai kuli. Sambil menunggu sayuran, bapak iseng-iseng main judi, uangnya tidak besar. Judi bukan mata pencaharian bapak, karena beliau adalah kuli yang mengangkut sayuran di pasar,” kata Endah.
Endah adalah satu-satunya saksi yang dapat menghadiri persidangan. Sementara saksi dan ahli lainnya yang mestinya dijadwalkan hadir, ternyata tidak dapat hadir. Pasca kesaksian, Farhat bercerita sedikit bahwa majelis hakim pernah menuturkan pada sidang sebelumnya, bahwa sejak zaman dulu judi berdampak besar, bahkan bisa sampai menggadaikan istri. Pernyataan ini dibantah Farhat, karena menurutnya dampak judi tidak separah itu. “Mengganggu istri orang saja bisa dipidana, justru judi bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia,” kata Farhat.
Menanggapi itu, Harjono menasehati Pemohon. “Yang diceritakan tadi adalah kasus, sementara hakim itu menguji apakah larangan judi bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD. Bagaimana argumentasi bertentangan itu? Karena itu mohon kesimpulannya nanti tentang pertentangannya dengan UUD, bukan kasusnya,” pinta Harjono. Hal senada juga disampaikan Akil Mochtar terkait konstitusionalitas UU KUHP dan UU Penertiban Perjudian.
Mahfud MD meminta agar Pemohon menyampaikan semua argumentasinya dalam kesimpulan, dan memberi waktu selambat-lambatnya 14 hari untuk disampaikan ke MK. (Yazid)