Bagi mereka yang pernah berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK), mengikuti sidang tepat waktu bukanlah hal yang aneh. Hal ini sangat jomplang dengan sidang-sidang di Pengadilan Negeri yang bisa molor sampai berjam-jam. Apa rahasia MK bisa on time?
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK), Janedjri M Gaffar, mengutarakan persidangan yang cepat dan murah adalah perintah UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
MK.
"Dengan batasan UU yang ditentukan, kita jadi speedy trial," kata Janedjri di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Selasa (22/6/2010). MK juga tidak menarik biaya perkara kepada pemohon.
Dalam UU itu disebutkan MK harus memutus perkara sengketa Pemilu Legislatif dalam 30 hari, dan 14 hari untuk Pilpres dan Pilkada. Sementara, untuk permohonan pengujian undang-undang, UU tidak memberikan batasan waktu.
"Meski tidak ada batasan kita juga cepat, paling lambat seminggu didaftarkan, kita sudah bisa sidang," kata Janedjri.
Batasan waktu yang ketat inilah, kata Janedjri, yang membuat hakim dan pegawai MK sangat menghargai waktu. Malah, lanjutnya, justru para pemohon dan kuasa hukumnya yang suka tidak menghargai waktu dengan datang telat saat sidang.
"Pernah Pak Akil Mochtar (hakim MK-red), marah ke kuasa hukum karena telat 30 menit," kata Janedjri.
Ia melanjutkan, sidang tepat waktu yang dijalankan MK saat ini memang berawal dari UU yang mengatur. Molor sidang berapa jam, bisa berimbas mundur sampai hitungan hari.
"Sebagai lembaga peradilan yang harus menegakkan hukum, kita tidak mau sidang molor dan malah melanggar hukum," katanya.
Meski awalnya 'dipaksa' UU, kata Janedjri, namun sidang tepat waktu akhirnya menjadi budaya di MK. Hakim sudah hadir 15 menit sebelum dimulai dan untuk pegawai satu jam sebelumnya. Bahkan, terkadang pegawai dan hakim harus kerja lembur kala perkara sedang menumpuk.
"Jam kerja kita jam 07.30 sampai 17.00, tapi suka sidang sampai malam hari. Ini kan menabrak peraturan, tapi dalam arti positif," kata Jandjri.
Laurencius Simanjuntak - detikNews