Jakarta, MK Online - Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepulauan Riau, perkara No.34/PHPU.D-VIII/2010 dan No.35/PHPU.D-VIII/2010 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (17/6) sore, di Ruang Sidang Panel gedung MKRI. Agenda sidang mengenai pemeriksaan pendahuluan, dengan Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Achmad Sodiki selaku Ketua Panel, serta Ahmad Fadlil Sumadi dan Harjono masing-masing sebagai Anggota.
Namun saat Majelis Hakim meminta para Pemohon membacakan pokok-pokok permohonan dan hal-hal yang menjadi keberatan Pemohon, tiba-tiba saja Pemohon Aida Zulaika Ismeth dan Eddy Wijaya mencabut gugatannya untuk perkara No.34/PHPU-VIII/2010. Maka, Majelis Hakim pun memutuskan untuk menggugurkan permohonan para Pemohon tersebut.
Selanjutnya, Majelis Hakim meminta Pemohon perkara No.35/PHPU.D-VIII/2010, Nyat Kadir dan Zulbahri M, untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan dan hal-hal yang menjadi keberatannya.
Dalam permohonannya, Pemohon, mengungkapkan alasan mereka menggugat pihak Termohon yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kepulauan Riau. Menurut Pemohon, penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Kepulauan Riau pada 26 Mei 2010 dinilai tidak jujur, tidak adil, tidak memberi kepastian hukum, menyimpang dari tata tertib penyelenggaraan pemilu serta tidak profesional.
Beberapa pelanggaran yang didalilkan oleh Pemohon adalah adanya indikasi penggelembungan suara, dan salah penghitungan suara. Selain itu, adapula dugaan penyalahgunaan wewenang dari beberapa pihak Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di kota Batam yang dengan sengaja menghambat para saksi Pemohon.
Alasan Pemohon lainnya, terlambatnya sosialisasi surat edaran KPU Provinsi Kepulauan Riau yang berakibat banyak ditemukan suara pasangan Pemohon yang seharusnya sah, malah jadi tidak sah. Hal lainnya, adanya cacat hukum sejak awal berupa dilanggarnya persyaratan administratif berupa tidak dilampirkannya surat keterangan tidak pailit dari Pengadilan Niaga oleh pasangan calon nomor urut 2 (dua) dan nomor urut 3 (tiga).
Menanggapi permohonan Pemohon tersebut, Panel Hakim meminta agar permohonan Pemohon disampaikan lebih rinci. Misalnya saja mengenai ketidakjujuran dan penggelembungan suara, harus dijelaskan kapan dan di mana saja lokasi terjadinya, serta siapa pelakunya. Dengan demikian, harus lebih terlihat fakta-faktanya.
“Tak ada fakta, tapi ada kualifikasi. Pemohon seharusnya dapat memastikan lebih detail apa saja yang jadi kesalahan pihak Termohon,” ungkap Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil. Akhirnya Panel Hakim pun meminta Pemohon memperbaiki permohonannya paling lambat 14 (empat belas) hari. (Nano Tresna A.)