Jakarta, MK Online - Ketua Mahkamah Agung Kerajaan Belanda, Geert JM Cortens melakukan kunjungan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) di Jakarta, Jum’at (18/06). Ketua MK, Mahfud MD menerima kunjungan tersebut dengan hangat dan kemudian keduanya melakukan diskusi tentang pengalaman tentang kukum dan peradilan di negara masing-masing.
Dalam acara tersebut hadir pula, Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi, Wakil Ketua Mahkamah Agung Belanda, JB Hans Fleers, Hakim Agung RI, Abdul Gani. Saat melakukan diskusi, Geert JM Cortens menanyakan tentang independensi Hakim Konstitusi karena tiga hakim dari sembilan Hakim Konstitusi berasal dari DPR yang syarat dengan politik. “Apakah dalam memutus perkara, MKRI tidak takut adanya intervensi dari kekuatan politik tertentu?” tanya Geert kepada Mahfud MD.
Menjawab pertanyaan tersebut, Mahfud MD menerangkan bahwa boleh-boleh saja politisi menjadi seorang hakim. Namun, jabatan ataupun kepentingan politiknya saat diangkat ataupun menjadi seorang hakim harus ditanggalkan. Kemudian, hakim juga tidak boleh mengeluarkan putusan yang bersifat politis.
Diantara sembilan Hakim Konstitusi MKRI, Mahfud memberitahukan bahwa tiga diantaranya berlatar politisi. ”Jadi dari sembilan Hakim Konstitusi, tiga dari lembaga DPR, tiga dari akademisi dan tiga lagi dari usulan Presiden,” tuturnya.
Pada kesempatan ini, Ketua Mahkamah Agung Belanda, Geert JM Cortens diberikan kesempatan untuk memberikan kuliah umum melalui video conference yang tersambung langsung di di 39 Universitas seluruh Indonesia, seperti diantaranya, Universitas Airlangga Surabaya, UGM Yogyakarta, Universitas Lampung, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, UNS Solo, Universitas Jember, USU Medan, Politeknik Batam, Universitas Syiah Kuala, NAD, Undip Semarang dan lainnya.
Dalam pemaparan kuliah umumnya, Geert menjelaskan proses pengadilan adalah sebuah pengaplikasian hukum dan itu tidak semudah yang dibayangkan. Hal itu tidak terlepas bahwa sebuah undang-undang dapat memberikan solusi permasalahan hukum yang berbeda-beda.
”Oleh sebab itu, di negara kami Belanda, hakim juga dituntut independen dan tidak bias dalam menangani perkara sehingga putusannya dapat memenuhi rasa keadilan. Hakim harus memutus berdasarkan fakta hukum sesuai hukum acara yang telah ditentukan,” ujarnya.
Selain itu, di Belanda juga terdapat sistem pengawasan terhadap hakim. Ketua pengadilan terkait dapat memberikan sangsi kepada hakim yang perilakunya buruk atau terbukti melakukan tindakan melanggar aturan sebagai hakim. Namun, hakim tidak bisa disalahkan dalam melakukan putusan.
”Jadi hakim bisa ditindak karena perilakunya bukan karena putusannya. Kalau tidak puas dengan putusan maka ada mekanisme banding. Ketika ada pelanggaran serius atas perilaku hakim yang tidak baik, MA Belanda juga bisa memberhentikan seorang hakim. Hal itu jarang terjadi tapi pernah ada,” paparnya. (RN Bayu Aji)