Jakarta, MK Online - Sebagian permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah (PHPU) Kepala Daerah Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara dikabulkan. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan batal dan tidak sah Keputusan KPU Konawe Selatan Nomor 25/kpts/KPU-KAB.027.433563/V/2010 tentang Pengesahan dan Penetapan Hasil Perolehan Suara Yang Diperoleh Setiap Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemilukada Konawe Selatan dan Keputusan Nomor 26/Kpts/KPUKAB.027.433563/V/2010 tentang Penetapan dan Pengumuman Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih. Karena itu, MK memerintahkan pemungutan suara ulang di TPS se-Kabupaten Konawe Selatan.
Sidang putusan MK dibacakan Senin (14/06) pukul 16.00 WIB. Putusan Perkara Nomor 22/PHPU.D-VIII/2010 tersebut dimohonkan oleh Surunuddin Dangga dan Muchtar Silondae, pasangan cabup nomor urut 3. Pemohon menyoal daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah. Sebelum penetapan DPT, Pemohon mengajukan bukti adanya pemilih ganda, tidak punya NIK, pemilih di bawah umur, pemilih siluman (bukan berdomisili di Konawe Selatan).
Menurut Pemohon, KPU sebagai Termohon dianggap membiarkan banyaknya kekeliruan DPT bermasalah tersebut. Pemohon pun membuktikan DPT bermasalah itu di beberapa kecamatan, yakni Kec. Andolo, Kec. Tinanggea, Kec. Buke, Kec. Angata, Kec. Mowila, Kec. Landono, Kec. Ranomeeto, Kec. Palangga, Kec. Laeya, Kec. Konda, Kec. Moramo dan Kec. Kolono. Meski telah mengajukan keberatan, ternyata KPU tidak bersedia melakukan perbaikan seperti diatur dalam Peraturan KPU No.67/2009.
Pelanggaran administratif, money politic, hingga penggelembungan suara juga tidak luput menjadi pokok permohonan gugatan ini. Pelanggaran administrasi menurut Pemohon adalah adanya pembagian SPPT (surat pemberitahuan pajak terutang), KTP, hingga membentuk tim pemenangan yang terdiri dari PNS di Kecamatan Tinanggea secara terkoordinir. Pemohon bahkan mengajukan 476 bukti (P1-P476) serta menghadirkan enam orang saksi untuk menguatkan permohonannya.
Sementara itu, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya berpendapat sesuai fakta hukum dalam proses penyelenggaraan Pemilukada terjadi pelanggaran serius, baik pelanggaran administrasi maupun pelanggaran pidana yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif yang merusak sendi-sendi Pemilukada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) sehingga memengaruhi hasil Pemilukada.
“Di persidangan terdapat fakta hukum yang diakui dan tidak dibantah oleh Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait karenanya fakta tersebut menurut hukum telah menjadi hukum bagi Pemohon dan Termohon serta Pihak Terkait karenanya tidak perlu dibuktikan lagi,” ujar Arsyad Sanusi.
Mahkamah memandang penyelenggaraan Pemilukada Kab Konawe Selatan diwarnai dengan pelanggaran-pelanggaran yang cukup serius, sehingga yang diperlukan adalah pemungutan suara ulang. Hal ini disebabkan karena pelanggaran-pelanggaran yang dapat dibuktikan di hadapan sidang Mahkamah sifatnya sudah sistematis, terstruktur, dan masif yang dilakukan menjelang dan selama pencoblosan. Penyelenggara Pemilukada maupun institusi terkait di Kab. Konawe Selatan tidak berupaya dengan sungguhsungguh untuk menindaklanjuti temuan pelanggaran dengan mengemukakan alasan-alasan yang bersifat formalistik belaka.
Karena itu, dalam konklusinya, Mahkamah berkesimpulan pokok permohonan terbukti adanya pelanggaran yang sistematis, terstruktur, dan masif. MK pun mengabulkan permohonan untuk sebagian dan menolak selain dan selebihnya. (Yazid)