Jakarta, MK Online - Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menerima kunjungan dari Komnas Perempuan pada Kamis (17/6) siang di ruang konferensi pers Mahkamah Konstitusi (MK). Kunjungan itu pada dasarnya bertujuan untuk memahami kinerja dan wewenang MK, selain juga mengenal lebih dekat proses berperkara dan persidangan di MK.
Mengawali pertemuan itu, Maria menerangkan latarbelakang sejarah terjadinya judicial review yang memunculkan kasus Marbury vs Madison (1803) di Amerika Serikat. Kasus Marbury vs Madison menimbulkan dua hal penting, yakni membatalkan ketentuan yang berkaitan dengan pengangkatan hakim (judiciary Act 1789) dan menjadi dasar kewenangan judicial review Supreme Court Amerika Serikat.
Kasus Marbury vs Madison itulah yang menjadi inspirasi Hans Kelsen. Menurut Kelsen, agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi. “Gagasan Hans Kelsen itu kemudian menjadi dasar dibentuknya Konstitusi Austria atau “Verfassungsgerichtshoft” tahun 1920,” ungkap Maria di hadapan para tamu yang hadir.
Lantas bagaimana dengan sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia? Maria menjelaskan, gagasan constitutional review di Indonesia sudah dicetuskan Moh. Yamin dalam rapat BPUPK. Saat itu ia mengusulkan agar Balai Agung (MA) perlu diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun, Soepomo tidak sejalan dengan usul Yamin. Dalihnya, UUD yang disusun tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu.
Usulan perlu adanya lembaga untuk menguji undang-undang, juga pernah dilontarkan Ikatan Sarjana Hukum pada 1970 agar Mahkamah Agung (MA) diberi kewenangan menguji undang-undang. Tetapi, usulan itu belum ditanggapi serius. Selain itu, lewat Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Pasal 5 Ayat (1) menyebutkan MPR berwenang menguji UU terhadap UUD 1945 dan Ketetapan MPR. Namun, saat itu belum juga dibentuk lembaga di Indonesia yang bertugas menguji UU.
Akhirnya setelah terjadi amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali (1999, 2000, 2001, 2002), melalui Pasal 24 dan Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh MA tetapi juga oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
“Disamping itu, MK berwenang untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum termasuk pemilukada,” kata Maria.
Hal yang tak kalah penting, lanjut Maria, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD. Sesuai isi Pasal 10 UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela …” (Nano Tresna A.)