Pemerintah Bukan Penafsir Tunggal Kebenaran Sejarah
Kamis, 17 Juni 2010
| 21:26 WIB
Adnan Buyung Nasution (Tengah) sedang bercakap dengan Yudi Latif (Kiri) saat menjadi Saksi dari Pihak Pemohon permohonan Uji Materi UU Barang Cetakan, Selasa (15/06) di ruang sidang Pleno MK. Tampak Franz Magnis Suseno (Kanan) selaku ahli dari Pemohon sedang serius menulis.
Jakarta, MK Online - Semenjak proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebenarnya kita telah keluar dari penjajahan. Namun dalam dua periode yakni orde lama dan orde baru tidak ada kemerdekaan ke dalam atau kemerdekaan perorangan terutama dalam menyampaikan pemikiran.
Hal tersebut diutarakan oleh Adnan Buyung Nasution ketika menjadi saksi dalam sidang uji materi UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (UU Barang Cetakan) dan Pasal 30 ayat (3) huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (15/06).
”Apabila kita membaca buku dan pemikiran Founding Fathers kita, baik sebelum dan sesudah kemerdekaan, sebenarnya ada arah dalam pembangunan negara hukum demokratis. Akan tetapi terjadi penyelewengan dalam pelaksanaannya. Dikeluarkannya Perpres atau penpres diera orde lama bertentangan dengan sistem hukum itu sendiri,” terang aktivis hukum berambut putih tersebut.
Adnan mengisahkan hal yang diketahuinya, bahwa proses lahirnya perpres dan penpres datangnya dari militer. ”Menurut Menteri Kehakiman era itu (1964-1966) Astrawinata, militer bersama Presiden membawanya ke DPR-GR. Partai-partai yang ada di DPR-GR saat itu menolaknya termasuk PKI. Setelah ditolak DPR-GR, maka dipaksakan dengan Perpres,” tuturnya.
Kemudian di tahun 1969, Perpres semuanya dijadikan undang-undang mana yang baik dan yang masih sesuai. Adnan menambahkan saat itu proses untuk menjadikan undang-undang diberi waktu 2 tahun untuk menilainya. ”Akan tetapi proses itu belum selesai hingga ditambah waktunya selama enam bulan sebanyak dua kali. Saat era Soeharto dan Menteri Kehakiman Oemar Senoadji itu, semua dijadikan undang-undang tanpa ada proses perbaikan sama sekali,” kisahnya.
Sementara itu, Franz Magnis Suseno selaku ahli Pemohon menyatakan adanya pelarangan buku seharusnya kita semua malu. Buku-buku bagus tentang sejarah jangan dilarang. Adanya buku-buku itu penting. ”Kita tidak bisa secara picik memilihkan buku pada seseorang,” terangnya.
Franz juga menambahkan, Filsafat sejarah dengan demikian sudah mati. Kebenaran sejarah memang tidak akan pernah tercapai 100%. Maka dari itu harus ada diskursus menuju kebenaran. Oleh sebab itu, kebenaran akan tercapai dengan membaca isi buku, dan bukan dengan melarang atau memukul seseorang.
Yang lebih penting lagi dengan sejarah adalah kita akan bisa melakukan rekonsiliasi bangsa tentang sejarah. Sejalan dengan itu, Yudi Latif juga menyatakan bahwa ada dua hal yakni kebenaran dan rekonsiliasi. ”Rekonsiliasi bisa tercapai apabila kebenaran itu dibuka. Mungkin dalam hal ini akan muncul tulisan atau buku yang bersifat apologetic atau pembenaran-pembenaran dari kelompok. Namun itu semua awal rekonsiliasi yang bagus untuk ke depan,” paparnya.
Oleh sebab itu, bagi Yudi Latif negara dan pemerintah tidak boleh menafsir kebenaran dengan sudut pandang pemerintah karena pemerintah juga bisa salah sehingga tidak bisa menghakimi.
”Kebebasan adalah hak dasar sehingga tidak bisa dikurangi dan dibatasi. Hal itu hanya boleh dengan mekanisme pengaturan. Selanjutnya apabila ada perselisihan mengenai hal itu maka bisa diselesaikan dengan proses peradilan,” ungkapnya.
Pemohon uji materi perkara Nomor 13-20/PUU-VIII/2010 ini adalah Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria selaku penulis buku Lekra Tak Membakar Buku, M Chozin selaku ketua umum PB HMI-MPO, Eva Irma, Adhel Setiawan dan Syafrimal selaku mahasiswa, I Gusti Agung Ayu Ratih, Institut Sejarah Sosial Insonesia (ISSI) selaku penerbit buku yang ditulis oleh John Rossa yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. (RN Bayu Aji)